Oleh : Atep Afia Hidayat -
Rumah kita adalah tempat kita berpijak, bernafas, makan, minum, tidur, belajar, bekerja, bergaul dan beragam aktifitas lainnya. Rumah kita menaungi kita dari beragam gangguan alam, membuat kita berkembang-biak atau ber-anak-pinak. Dari sepasang manusia berduplikasi menjadi milyaran manusia, ya semuanya terjadi di rumah kita.
Rumah kita sudah renta, tetapi masih setia menampung kita. Rumah kita tetap menyediakan makanan, air, udara dan tempat untuk berpijak. Memang sebagian dari saudara kita sudah meninggalkan rumah kita, tetapi jasadnya masih tersimpan dalam tanah, bagian dari rumah kita. Rumah kita sudah menjadi saksi bisu dari perjalanan hidup semua manusia yang pernah ada, di seluruh penjuru rumah kita.
Memang sebagai penghuni rumah kita, hampir semuanya justru membuat kerusakan. Mulai dari kerusakan sangat kecil sampai kerusakan dahsyat. Setiap detik ada saja perilaku yang berdampak pada kerobohan rumah kita.
Hal-hal kecil seperti membuang sampah sembarangan, bahkan sekecil bungkus permen sekalipun, bisa berakibat buruk pada rumah kita. Satu bungkus permen terbuat dari plastik memang berukuran sangat kecil, namun jika ada jutaan orang setiap hari membuangnya, jumlahnya jadi banyak, belum kalau dihitung dalam setahun.
Sebagai ilustrasi satu bungkus permen berukuran 2 cm2, kalau yang membuangnya di seluruh dunia ada 2 juta orang dalam sehari, maka akan terkumpul 4.000.000 cm2, dan dalam setahun 1.460.000.000 cm2. Itu hanya dari bungkus permen saja, belum dari bungkus atau kemasan plastik lainnya. Semuanya dibuang ke permukaan rumah kita, menutupi pori-pori tanah, sehingga ketika hujan datang, air pun tidak bisa memasukinya dan hanya menjadi aliran permukaan tanah.
Tanah merupakan ekosistem yang dinamis, ada mahluk hidup seperti cacing dan mikroba, ada komponen air, udara dan unsur hara. Selain menyokong sistem pertanian, tanah berperan dalam mendukung keselarasan ekosistem rumah kita, ya planet bumi. Keharmonisan ekosistem tanah terus dirusak, mulai dari menutupinya dengan plastik, logam, beton, aspal dan material padat lainnya, sampai eksplorasi membabi-buta dalam wujud usaha pertambangan.
Di beberapa daerah pertambangan emas, tembaga, timah, batubara, dan sebagainya, banyak permukaan bumi yang menyisakan lobang raksasa dan dibiarkan begitu saja.
Permukaan rumah kita yang berwujud hutan pun secara fantastis terus digunduli, sehingga yang tersisa sudah tak banyak lagi. Hutan tropis sebagai paru-paru rumah kita pun tak lepas dari gerayangan tangan-tangan jahil. Atas nama industrialisasi dan investasi hutan tropis yang harmonis disulap menjadi kebun sawit atau komoditi perkebunan lainnya. Bahkan tak sedikit hutan lindung yang beralih fungsi menjadi area pertambangan.
Ada upaya sistematis dan seolah legal untuk merobohkan rumah kita. Mulai dari eksplorasi perut bumi, hutan, atmosfer bahkan lautan. Seluruh bagian rumah kita sudah mengalami kerusakan yang sangat parah, begitu kronis. Upaya pemulihannya sangat tidak mudah.
Memang motivasi yang mendasarinya adalah kepentingan ekonomi, namun hasil yang diperoleh sama sekali tidak mencukupi untuk memperbaiki kondisi ekologi rumah kita. Atas nama pribadi, masyarakat, pemerintah, bahkan secara global, ternyata secara bersama ada upaya merobohkan rumah kita.
Belum sumber kerobohan itu datang dari rumah kita sendiri, mulai dari gempa, tsunami, gunung meletus dan sebagainya. Bencana terhadap rumah kita datang bertubi-tubi, menyebar di seluruh penjuru. Lengkaplah apa yang terjadi pada rumah kita, dan sudah siapkah kita mengantisipasinya ?
Bagaimana kalau rumah kita benar-benar roboh, lantas di mana kita tinggal, ke mana kita mengungsi ? Jalan satu-satunya yang bisa kita persiapkan ialah kembali kepadaNya, ya bersiap menghadap Allah SWT, Sang Pencipta Alam Semesta, Pencipta rumah kita. (Atep Afia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H