Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Wilayah Perbatasan Jangan "Di-Anak-Tiri-kan"

14 Januari 2011   10:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 1521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Oleh : Atep Afia Hidayat -

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki  1,86 juta km2 daratan, 3,2 juta km2 lautan, dan 17.504 pulau, dihuni oleh 237 juta penduduk (Sensus Penduduk 2010). Dari aspek luas wilayah dan jumlah penduduk termasuk kelompok negara terbesar di dunia.

Sumberdaya alam (SDA) yang begitu luas dan kaya serta sumberdaya penduduk (SDM) yang begitu besar perlu dikelola secara optimal, jika tidak maka akan terjadi keterlantaran dan berpeluang menjadi incaran negara lain. Tak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan SDA dan SDM hanya terkonsentrasi di Jawa dan titik-titik tertentu di luar Jawa, banyak kawasan yang relatif terlantar, terutama wilayah perbatasan.

Terdapat empat propinsi di Indonesia yang daratannya berbatasan dengan negara lain, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT), keseluruhannya meliputi 15 kabupaten. Menurut Matindas dan Sutisna (2006), masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula Negara tetangga yang berbatasan memiliki karakteristik yang berbeda jika dilihat dari kondisi geografis, demografis, social, politik, ekonomi dan budaya.

Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini (PNG), Australia, dan Timor Leste. Selanjutnya dikemukakan, sebagian besar daerah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal, dengan sarana dan prasarana social, ekonomi, pertahanan dan keamanan yang masih sangat terbatas.

Paradigma dimasa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak, mengakibatkan kawasan perbatasan di beberapa dearah menjadi kurang tersentuh dunamika pembangunan. Sebagai konsekuensi logis, masyarakat setempat menjadi berorientasi kepada Negara tetangga. Sebaliknya, Negara tetangga Malaysia begitu agresif dan progresif mengembangkan kawasan perbatasan, sehingga menjadi sentra pertumbuhan bisnis yang menggiurkan, yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hal tersebut tentu saja menimbulkan semacam kecemburuan sosial bagi masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan yang masuk Indonesia. Jangan heran jika masyarakat Indonesia di perbatasan, lebih menikmati siaran televisi dari Malaysia, lebih hapal dengan nama-nama pejabat Malaysia, bahkan menggunakan ringgit Malaysia sebagai alat transaksi perdagangan. Terasa cukup melegakan jika mereka masih setia kepada "merah putih".

Menurut Sianturi dan Nafsiah (2002), pada umumnya daerah perbatasan belum mendapat perhatian secara proporsional. Kondisi umum daerah perbatasan dapat dilihat dari aspek Pancagatra, yaitu :

Aspek ideologi, kurangnya akses pemerintah pusat dan daerah ke kawasan perbatasan. Dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain, yang berpotensi mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari sebagian rakyat Indonesia tersebut.

Aspek politik, kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan di Negara tetangga. Kondisi tersebut mengundang kerawanan di bidang politik.

Aspek ekonomi, daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal, karena lokasinya terisolir dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat rendah, tingkat kesejahteraan masyarakat rendah ditandai dengan jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal yang banyak, informasi tentang informasi tentang perkembangan masyarakat setempat (blank spot).

Aspek sosial budaya, masyarakat daerah perbatasan cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, karena intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonomi sangat tergantung pada Negara tetangga.

Aspek pertahanan dan keamanan, daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas, dengan pola distribusi penduduk yang sangat tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien.

Dengan demikian terdapat kesenjangan  untuk seluruh sektor pembangunan, antara daerah perbatasan dengan daerah lainnya. Apalagi jika memperhatikan perkembangan selama ini, bahwa pembangunan lebih terpusat di Jakarta atau Pulau Jawa, maka keberadaan daerah perbatasan perlu disikapi dengan kebijakan yang lebih strategis dan komprehensif. Bagaimanapun keberadaan dan keutuhan NKRI sangat tergantung pada kondisi daerah perbatasan, baik di daratan maupun di lautan.

Keberadaan daerah perbatasan perlu ditata ulang, antara lain melalui kebijakan pemekaran wilayah. Sebagai contoh, pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas di Propinsi Kepulauan Riau (Kepri) dinilai penting untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat menjaga pulau-pulau terluar. Kabupaten Kepulauan Anambas sebelumnya merupakan bagian dari daerah pemerintahan Kabupaten Natuna, masih sulit berkembang karena daerahnya terisolasi. Daerah ini berhadapan langsung dengan Negara-negara Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura dalam kawasan Laut Cina Selatan (Kompas, 29 Oktober 2007).

Mengingat posisinya yang begitu strategis, wilayah Kabupaten Kepulauan Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas layak dijadikan propinsi tersendiri, terpisah dari Propinsi Kepulauan Riau.

Belajar dari kasus Kepulauan Anambas dan sebagai upaya untuk mempercepat pemarataan pembangunan, ada baiknya 15 kabupaten yang ada di kawasan perbatasan dimekarkan menjadi beberapa kabupaten lagi. Hal itu untuk memperpendek rentang kendali dengan wilayah terluar. Begitu pula aspirasi pembentukan propinsi baru seperti Propinsi Kalimantan Utara (pemekaran Kaltim), dan Propinsi Kapuas Raya (pemekaran Kalbar), perlu ditanggapi lebih serius oleh pemerintah pusat.

Pemerintah adalah unsur yang mendapat amanah untuk mengelola bangsa dan negara. Apa yang dijalankan pemerintah dapat diibaratkan seperti seseorang yang sedang memegang burung peliharaannya. Jika dipegang terlalu kuat, maka burung itu akan kesakitan bahkan mati. Sebaliknya jika dipegang terlalu longgar, maka burung itupun akan terbang, melepaskan diri. Jadi dalam hal ini pegangannya harus moderat, sehingga kondisi burung tersebut merasa nyaman. Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa kawasan perbatasan mendapat perlakuan seperti burung yang dipegang longgar. Tentu saja hal tersebut sangat beresiko terhadap keutuhan NKRI.

Hal yang lebih penting ialah bagaimana supaya pemerintah pusat lebih serius memperhatikan kawasan perbatasan, kalau perlu dibentuk Kementerian Wilayah Perbatasan, supaya lebih konsen dan serius menangani perbatasan. Bagaimanapun merah-putih harus selalu berkibar di wilayah perbatasan, nasionalisme masyarakat setempat perlu  ditumbuh-kembangkan lebih lanjut. (Atep Afia).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun