Oleh : Atep Afia Hidayat -
Bayangkan, dalam setiap tahunnya ada 1,3 milyar orang yang berlalulalang, berwisata ke manca negara. Berapa orang yang singgah di Indonesia? Data dari Organisasi Pariwisata Dunia mengungkapkan, hanya 4 juta orang, atau hanya sekitar 0,3 persen dari seluruh wisatawan manca negara (wisman) yang datang ke Indonesia. Sementara Malaysia dikunjungi 14,7 juta orang (1,1 persen) dan Thailand 15 juta orang (1,2 persen). Lantas, berapa orang wisman tersebut yang berkunjung ke Provinsi Banten ?
Wisman yang berkunjung ke Banten tahun 2006 ini, ternyata 150 ribu orang, dan itupun baru target dari Banten Community Tourism Board (BCTB). Lantas kenapa BCTB tidak mentargetkan kunjungan wisman 1 atau 2 juta orang, apakah Banten belum layak untuk menjadi daerah tujuan wisman yang utama. Ternyata Banten memiliki potensi wisata yang beragam dan berkelas dunia, tetapi pengelolannya masih belum profesional. Jangankan dapat bersaing dengan Malaysia, Thailand atau Singapura, dengan Bali atau Jogja pun masih jauh ketinggalan.
Potensi Terpendam
Banten memiliki beragam obyek wisata, mulai dari wisata bahari (Pantai Carita, Tanjung Lesung, Pulau Umang, Anyer), ekowisata (Ujung Kulon, Gunung dan Pulau Krakatau), wisata budaya (Baduy), wisata religi (Mesjin Agung) dan wisata belanja (Cilegon, Serpong).
Sumberdaya alam Banten memiliki daya tarik yang kuat, hal itu menyebabkan bangsa-bangsa Arab, India, Cina, Jepang, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda beberapa abad yang lalu mampir di Banten. Dengan demikian eksistensi Banten sebenarnya sudah sejak lama mendunia. Antara tahun 1525 – 1808, mulai dari masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunungjati dari Cirebon) sampai masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai kerajaan yang banyak dikunjungi orang asing atau ‘wisman’. Pada saat itu Banten menjadi wilayah yang terbuka untuk bisnis internasional, sehingga banyak kantor dagang asing dibuka. Bahkan perkampungan Arab, India, Cina dan Jepang pun sudah ada. Lantas kenapa kemampuan ‘meng-global’ Banten beberapa abad yang lalu jauh lebih unggul dibandingkan sekarang ?
Ditinjau dari aspek sosial budaya, sejak beberapa abad yang lalu masyarakat Banten dikenal sangat terbuka. Sebagai dampak dari keterbukaannya Banten mencapai masa kejayaan, antara lain karena terjalin kerjasama yang harmonis antara pribumi dengan pendatang. Di sisi lainnya, Banten mengalami keterpurukan juga akibat keterbukaannya, terutama terhadap orang Belanda. Tahun 1808 Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Daendels meruntuhkan Keraton Surosowan di sekitar Banten Lama, mengakuisisi kerajaan dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Serang. Sejak saat itulah Banten mengalami keterpurukan di segala bidang, sampai akhirnya Banten berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai sebuah propinsi yang masih ‘kanak-kanak’ (6 tahun), Banten mencoba menggali nilai-nilai historis untuk dijadikan spirit kebangkitan, sehingga bisa sejajar dengan propinsi-propinsi yang paling maju.
Selain sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), potensi historis Banten ternyata masih terpendam. Padahal untuk pengembangan pariwisata, ketiganya perlu disinergikan melalui pengelolaan yang profesional.
Perlu Investasi
Partisipasi aktif pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dibidang pariwisata perlu lebih ditingkatkan lagi. Ketika sektor pertanian dan industri pertumbuhannya sudah stagnan, maka sektor pariwisata perlu mendapat perhatian serius. Kerjasama yang harmonis antara Pemda dengan pengelola industri pariwisata perlu lebih dikembangkan lagi, jangan sampai jalan sendiri-sendiri. Pemda jangan hanya sekedar mengejar pendapatan asli daerah (PAD), begitu pula pengelola industri pariwisata seperti pengelola hotel, restoran dan biro perjalanan wisata jangan hanya mengejar keuntungan sesaat.
Pariwisata seperti tanaman buah yang berumur panjang, untuk menghasilkan buah yang lebat dalam jangka waktu selama mungkin, maka perlu pemupukan, penyiraman, serta pengendalian hama dan penyakit. Begitu pula pariwisata, supaya ‘berbuah lebat’ selama mungkin, maka perlu investasi seperti bidang infrastruktur, pengembangan SDM dan promosi yang berkelanjutan.
Infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan, pelabuhan dan bandara perlu dipersiapkan secara serius. Kondisi jalan yang rusak seperti antara Cilegon dan Pantai Anyer, antara Pandeglang-Labuan-Panimbang-Tanjung Lesung dan Sumur akan menyurutkan minat calon wisatawan untuk mendatangi obyek wisata tersebut. Dengan demikian, target 150 ribu wisman, 1 juta wisnu (wisatawan nusantara) dan 2,5 juta wislok (wisatawan lokal) yang akan berkunjung ke berbagai obyek wisata di Banten sulit tercapai.
Pengembangan SDM pariwisata juga perlu digarap dengan sungguh-sungguh. Mengingat jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di Propinsi Banten masih tinggi, maka pemberdayaan SDM lokal perlu mendapat perhatian serius. Kenyataannya hampir semua obyek wisata terkemuka di Banten, untuk posisi strategis lebih banyak mempekerjakan pendatang. Jika dibiarkan berlarut-larut maka hal ini dapat memicu kecemburuan sosial, sehingga lingkungan sosial pariwisata menjadi tidak kondusif.
Untuk pengelola industri pariwisata ada baiknya kalau berinvestasi dalam pengembangan SDM lokal, seperti memberikan beasiswa bagi masyarakat yang berprestasi untuk mengambil pendidikan tinggi pariwisata, memberikan pelatihan-pelatihan dasar mengenai kepariwisataan. Dalam hal ini Banten ada baiknya meniru Bali dan Jogja, di mana industri pariwisata setempat banyak mengikutsertakan SDM lokal, sehingga nilai-nilai budaya lokal makin mewarnai aktivitas kepariwisataan. Memang saat ini merupakan era globalisasi, namun di balik arus globalisasi ada arus tribalisasi yang menguat, yaitu adanya kecenderungan minat terhadap hal-hal yang bersifat lokal makin menguat.
Perlu Promosi
Investasi dibidang promosi juga menjadi sangat penting, sebagus apapun obyek wisata dan seprofesional apapun pengelolaannya, tanpa promosi yang jitu maka industri pariwisata tidak akan berkembang. Dalam hal ini bisa belajar dari Malaysia, yang begitu gencar mempromosikan ‘kecanggihan’ pariwisatanya, baik melalui kedutaan besar, televisi, surat kabar dan internet. Begitu pula Singapura dan Australia, sangat ‘getol’ mempromosikan pariwisatanya di Indonesia. Maka tak heran jika wisman asal Indonesia yang melancong ke Malaysia hampir mencapai 800 ribu orang per tahun (data dari ‘The World Travel and Tourism Council’), beberapa ribu di antaranya adalah orang Banten.
Untuk pengembangan pariwisata tahun 2006, Pemerintah Provinsi Banten telah mengalokasikan anggaran Rp. 1,2 milyar untuk promosi. Anggaran tersebut relatif kecil jika memperhatikan target 150 ribu kunjungan Wisman, 1 juta Wisnu dan 2,5 juta Wislok, dengan target pemasukan 45 juta dollar`AS dari Wisman (dengan asumsi kunjungan rata-rata 2 hari) dan Rp 875 milyar dari Wisman dan Wislok (data dari BCTB). Untuk meningkatkan kegiatan promosi pariwisata, Pemda perlu menggandeng pengelola industri pariwisata, maka perlu ada interaksi yang positif antara Pemda Provinsi Banten, Pemkab (Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang), Pemkot (Cilegon, Tangerang), dengan Asita (Asosiasi Pariwisata), (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), dan pelaku pengelola industri pariwisata lainnya.
Negara-negara yang menjadi target promosi perlu diidentifikasi secara cermat. Beberapa negara seperti Singapura, Jepang dan Taiwan merupakan negara pengirim wisman terbesar ke Indonesia. Kalau anggaran memadai, cukup efektif jika dibuat iklan pariwisata yang ditayangkan di stasiun televisi yang ada di negara-negara tersebut. Mengacu pada nilai histori, tak ada salahnya jika mencoba mempromosikan pariwisata Banten di negara-negara Arab, Cina, India, Portugis, Spanyol dan Inggris, karena beberapa abad yang lalu Banten pernah memiliki ‘hubungan spesial’ dengan negara-negara tersebut, siapa tahu banyak warga negaranya yang berkeinginan menelusuri jejak nenek moyangnya.
Pengembangan pariwisata Banten memang tidak mudah, diperlukan kecerdasan, inovasi dan kreatifitas dalam pengelolaannya. Semoga upaya pengembangan pariwisata Banten jangan hanya sebatas gagasan, opini, seminar atau lokakarya belaka, dalam hal ini dibutuhkan tindakan dan langkah proaktif (Atep Afia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H