Oleh : Atep Afia Hidayat -
Seorang kakek begitu asyiknya mengisap asap rokok dari berbatang-batang rokok yang dipegangnya secara bergiliran, entah sudah batang ke berapa. Kalau usianya 70 tahun dan si kakek merokok sejak usia 17 tahun, berarti sudah 53 tahun jam terbang merokoknya. Jumlah batang rokok yang dihabiskan bisa mencapai minimal 5 batang x 365 hari x 53, yaitu 96.725 batang, hampir 100.000 batang. Ketika anak dan cucunya menasehati supaya si kakek segera berhenti merokok, supaya hidupnya lebih sehat, si kakek pun berkilah bahwa tanpa merokok ia jadi "mati gaya", bahkan "mati kutu".
Rokok dengan merk tertentu sudah menjadi bagian dari kehidupan si kakek, bahkan sudah menjadi "icon" atau bagian dari karakternya. Gencarnya perusahaan rokok berpromosi menyebabkan dampak psikologis yang luar biasa, rokok menjadi bukan sekedar tembakau, tetapi menjadi gaya hidup. Pengiklan rokok begitu piawai dalam meluncurkan kata-kata sugesti plus gambar yang menarik. Iklan tersebut dipajang dipinggir jalan dalam ukuran raksasa, baik dalam bentuk spanduk, billboard, poster, balon, dan sebagainya. Media cetak pun banyak dihiasi iklan rokok, begitu pula televisi dan internet. Kampanye "ayo merokok" yang digencarkan perusahaan-perusahaan rokok begitu sukses, sehingga perokok tua seperti si kakek tetap setia "sampai mati", begitu pula perokok pemula dari kalangan muda usia jumlahnya terus bertambah.
Rokok bukan sekedar industri, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Bahkan bagi orang tertentu rokok lebih dari sekedar "sembilan bahan pokok". Ada yang beranggapan, lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Dari kalangan masyarakat miskin pun, kebutuhan akan rokok melebihi kebutuhan bahan pangan. Banyak petani, nelayan, buruh, abang becak yang asyik merokok, sementara anaknya di rumah menderita kekurangan gizi kronis.
Upaya mengurangi kebiasaan merokok memang sudah dijalankan, tak kurang dari Pemda DKI telah berhasil membuat Perda larangan merokok di tempat-trempat tertentu. Namun aturan tinggal aturan, himbauan tinggal himbauan, yang jelas jumlah perokok cenderung bertambah. Lebih banyak "pendatang baru" daripada mereka yang "bertobat". Kalau peraturan larangan merokok berhasil diterapkan, salah satu indikasinya ialah adanya perusahaan rokok yang gulung tikar. Namun sampai saat ini, nyaris tak terdengar adanya pabrik rokok yang tutup. Kalaupun ada, lebih disebabkan persoalan kenaikan cukai. Yang terjadi di lapangan ialah kampanye "Ayo Merokok" berhasil memukul KO kampanye "Jangan Merokok".
Nasib tragis sebenarnya terjadi di sekitar perokok, terutama di rumah tempat tinggal perokok seperti si kakek dan sesama perokok. Sebuah Jurnal Kesehatan di Inggris, The Lancet (http://www.thelancet.com/) baru-baru ini melaporkan, bahwa sekitar 600.000 orang perokok pasif meninggal dunia karena terpapar asap rokok. Data tersebut dihimpun dari 192 negara, termasuk Indonesia. Sebagian besar perokok pasif yang meninggal adalah anak-anak , kemudian kaum perempuan.
Ternyata "pembunuh berdarah dingin" itu ada di dalam rumah sendiri dan anggota keluarga sendiri. Si kakek berpotensi membunuh cucu kesayangannya, begitu pula si suami berpotensi membunuh istri dan anak kesayangannya. Akibat perilaku tidak sehat serta kenikmatan "sesaat" dan "sesat", keselamatan dan nyawa darah daging sendiri bisa dikorbankan. Â Di sisi lainnya sebenarnya nyawa sang perokok pun terancam, sebab pada tahun 2004 sekitar 5,1 juta perokok aktif mengalami kematian, dipicu oleh berbagai penyakit akibat asap rokok.
Rokok sudah menjadi "tradisi" hidup si kakek, sulit dihentikan, meskipun ancaman serangan jantung, stroke, dan kanker paru-paru siap menerjang kapan saja. Si kakek nyaris tidak peduli, "emang gue pikirin", kilahnya. Padahal di sisi lainnya, si cucu keluar masuk rumah sakit, klinik dan tempat praktek dokter, karena beragam gangguan kesehatan. Dengan tubuh kurus-kerontang, muka pucat, mata sayu, dan nafas tersengal, si cucu berbisik pada si kakek, " kek, kok asap rokonya enggak ditelan semua ...." (Atep Afia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H