Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kerusakan Hutan Makin Parah! Siapa Bertanggungjawab?

15 November 2010   01:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:36 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh : Atep Afia Hidayat -

Pemborosan sumberdaya alam yang begitu fantastis, itulah prestasi Pemerintah Indonesia, baik pada era Orde Lama, Orde Baru, maupun era Reformasi sekarang. Begitu mudahnya perijinan diberikan kepada "konglomerasi pelahap hutan", seolah tidak memikirkan hari depan dan kepentingan masyarakat lokal. Babat abis, deru gergaji mesin dan alat-alat berat pun dengan leluasa merambah kawasan hutan, bahkan hutan primer yang masih perawan.

Berdasarkan data yang diungkapkan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan (dalam Republika Online, 14 Juni 2010), sedikitnya 12 juta hektar kawasan hutan  di Indonesia dalam kondisi terlantar. Saat ini hutan primer hanya tersisa 43 juta hektar. Menurutnya jangan ganggu hutan primer, jika mau alih fungsi gunakan hutan terlantar. Zulkifli mengungkapkan deforestry saat ini mencapai 1,1 juta hektar per tahun, sedangkan pada masa Orde Baru mencapai 3 juta hektar per tahun.

Kondisi yang sangat mencemaskan, bahkan merupakan ancaman sangat serius bagi kenyamanan ekosistem Indonesia, bahkan seluruh dunia. Hutan di Indonesia yang semula meliputi 70 persen dari seluruh permukaan daratan, atau sekitar 130 juta hektar, secara sistematis mengalami penggundulan, bahkan 42 juta hektar sudah benar-benar gundul, nyaris bebas vegetasi. Kalau kita lihat permukaan Pulau Jawa dari pesawat, atau melalui satelit di Google Map, maka warna hijau merupakan bagian yang sangat kecil. Begitu pula di Pulau Sumatera dan Kepulauan Nusatenggara. Wilayah yang didominasi warna hijau, yang menunjukkan hutannya masih dominan  hanya terdapat di di Kalimantan dan Papua.

Bayangkan, saat ini deforestry mencapai 1,1 juta hektar  atau 11.000 km2 per tahun. Kawasan seluas itu kira-kira sekitar 2 kali luas Propinsi Bali dan 17 kali luas Propinsi DKI Jaya ! Luar biasa, dalam satu tahun terjadi kerusakan hutan seluas 17 kali DKI Jaya dan 2 kali Bali. Pemborosan sumberdaya hutan yang sudah melampaui akal sehat. Sama sekali tidak berpihak pada kepentingan ekologi atau lingkungan, bahkan tidak berpihak pada kepentingan pembangunan dan ekonomi. Eksploitasi dan eksplorasi hutan yang berlebihan dan melampuai batas daya dukung lingkungan, hanya akan menghasilkan nilai ekonomi yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya pemulihan.

Secara teoritis memang hutan termasuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, misalnya dengan penghijauan atau reboisasi. Namun dalam pelaksanaannya tidak semudah itu, menanam pohon kehutanan perlu pemeliharaan, bukan sekedar tanam lantas ditinggal begitu saja. Selain itu, hutan primer memiliki plasma nuftah yang  sangat beragam, dengan ekosistem yang harmonis. Beragam flora dan fauna ada didalamnya, berinteraksi secara alamiah dan seimbang. Sedangkan hutan hasil penanaman kembali, kondisi ekosistemnya sama sekali tidak menyerupai hutan primer, apalagi semacam hutan tanaman industri (HTI) yang vegetasinya homogen.

Penebangan hutan dengan alasan kepentingan ekonomi, seperti untuk pengembangan industri berbasis kehutanan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Adapun penebangan oleh masyarakat sekitar, terutama karena alasan kemiskinan. Di sekitar hutan tidak ada sumber penghidupan, ya dengan terpaksa masyarakat menebang dan merambah hutan untuk dijual kayu dan hasil hutan lainnya. Industri kehutanan perlu diatur sedemikian rupa, sehingga kawasan operasionalnya tidak menyentuh hutan primer.

Pengawasannya jelas tidak gampang, mengingat jumah dan kualitas aparat pengawas hutan sangat terbatas. Begitu pula kewenangan dan kemampuan Pemerintah Daerah dalam menjaga hutan di wilayahnya sangat minim.

Jangankan di Kalimantan atau Papua yang kawasan hutannya sangat luas, di Kabupaten Bandung saja masih banyak kawasan kehutanan yang seolah "tidak bertuan". Sebagai gambaran kerusakan hutan sekitar Gunung Wayang, yang merupakan hulu Sungai Citarum sudah begitu parah dan cenderung diabaikan. Hutan di Gunung Wayang telah beralih fungsi menjadi kebun sayuran seperti kubis dan kentang, padahal peranannya begitu strategis sebagai hulu sungai. Dampaknya dengan mudah terlihat, banjir langganan selalu menggenangi kawasan Baleendah, Banjaran dan  Majalaya (Kabupaten Bandung), bahkan sampai ke Kabupaten Karawang di hilir.

Selain itu akibat vegetasi hutan yang makin jarang, longsor pun mengancam kawasan Pacet dan Kertasari, lokasi di mana Hulu Sungai Citarum berada. Akibat debit air yang tidak menentu, keberadaan Waduk Jatiluhur dan Saguling yang volume airnya tergantung aliran Sungai Citarum juga menjadi terancam.

Hutan tropis di Indonesia memiliki peran strategis untuk kehidupan ekologis Planet Bumi. Dengan luas kawasan hutan nomor 2 setelah Brasil, sudah selayaknya Pemerintah Indonesia lebih meningkatkan keseriusannya dalam menjaga kelestarian hutan. Hutan Indonesia selain besar secara kuantitas, juga harus besar secara kualitas. Hutan Indonesia adalah paru-parunya Planet Bumi. Adanya kecenderungan pemanasan global juga turut dipengaruhi kondisi pengelolaan hutan di Indonesia. Oleh sebab itu stop deforestry, stop penebangan hutan primer dengan alasan apapun. (Atep Afia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun