Mohon tunggu...
atenS
atenS Mohon Tunggu... lainnya -

berbagi manfaat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia memilih nyaris tanpa mikir

9 Juli 2014   03:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:56 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diantara banyak jenis mahlukNya, hanya manusia yang diberi karunia perasaan dan akal. Pemberian ini pasti bukan tanpa maksud, pasti ada maksud yang agung, pasti sesuatu yang sangat manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.

Pandangan seseorang tentang sesuatu didasari pada informasi terkait yang dimiliki, akalnya, hasil olah pikirnya, hasil mengurai dan menarik kesimpulan, juga didasari pada perasaan, hubungan emosional dsb.

Oleh karenanya wajar saja jika pandangan seseorang dengan lainnya berbeda karena mungkin informasi yang dimiliki berbeda, olah pikirnya beda, perasaannya beda.

Tahun 2014 ini 185 juta rakyat Indonesia secara serentak diminta memilih wakil rakyat dan presidennya, namun informasi dasar tentang calon tidak dimiliki, jika ada sangatlah minim nyaris nihil, padahal informasi ini mutlak diperlukan untuk proses pikir. Akhirnya olah pikir tidak bisa dilakukan.

Selanjutnya penentuan pilihan tanpa olah pikir, tanpa akal, hanya berdasarkan perasaan, emosi dan solidaritas kelompok yang digiring, tarik menarik, dorong mendorong, kepentingan kelompok yang dibenturkan, informasi olahan, kesimpulan dan argumen yang dipaksakan, diarahkan, mengandung tujuan terselubung.

Hak pilih bagi bagi banyak orang (jutaan) dipandang sebagai kupon hadiah lima tahunan, yang bisa ditukarkan secara individu dengan uang tunai 10 sampai 100 ribu, atau secara kolektif barter dengan fasilitas umum, pengaspalan jalan, karpet, sound sistem dan banyak lagi, dengan perantara, broker, pimpinan lingkungan terbawah sampai atas. Pertukaran lebih mengedepankan kepentingan sesaat, mengabaikan kepentingan bangsa, tak membayangkan hilangnya peluang dan kerugian 5 tahun kedepan (maaf saya juga tidak sadar larut terseret arus).

Mudahan bangsa-bangsa lain tidak menjadikannya tolok ukur betapa rendahnya olah pikir atau akal bangsa ini, mudah diakali.

As140708

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun