Diantara banyak jenis mahlukNya, hanya manusia yang diberi karunia perasaan dan akal. Pemberian ini pasti bukan tanpa maksud, pasti ada maksud yang agung, pasti sesuatu yang sangat manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Pandangan seseorang tentang sesuatu didasari pada informasi terkait yang dimiliki, akalnya, hasil olah pikirnya, hasil mengurai dan menarik kesimpulan, juga didasari pada perasaan, hubungan emosional dsb.
Oleh karenanya wajar saja jika pandangan seseorang dengan lainnya berbeda karena mungkin informasi yang dimiliki berbeda, olah pikirnya beda, perasaannya beda.
Tahun 2014 ini 185 juta rakyat Indonesia secara serentak diminta memilih wakil rakyat dan presidennya, namun informasi dasar tentang calon tidak dimiliki, jika ada sangatlah minim nyaris nihil, padahal informasi ini mutlak diperlukan untuk proses pikir. Akhirnya olah pikir tidak bisa dilakukan.
Selanjutnya penentuan pilihan tanpa olah pikir, tanpa akal, hanya berdasarkan perasaan, emosi dan solidaritas kelompok yang digiring, tarik menarik, dorong mendorong, kepentingan kelompok yang dibenturkan, informasi olahan, kesimpulan dan argumen yang dipaksakan, diarahkan, mengandung tujuan terselubung.
Hak pilih bagi bagi banyak orang (jutaan) dipandang sebagai kupon hadiah lima tahunan, yang bisa ditukarkan secara individu dengan uang tunai 10 sampai 100 ribu, atau secara kolektif barter dengan fasilitas umum, pengaspalan jalan, karpet, sound sistem dan banyak lagi, dengan perantara, broker, pimpinan lingkungan terbawah sampai atas. Pertukaran lebih mengedepankan kepentingan sesaat, mengabaikan kepentingan bangsa, tak membayangkan hilangnya peluang dan kerugian 5 tahun kedepan (maaf saya juga tidak sadar larut terseret arus).
Mudahan bangsa-bangsa lain tidak menjadikannya tolok ukur betapa rendahnya olah pikir atau akal bangsa ini, mudah diakali.
As140708
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H