Si tukang kayu itu patut diberi jempol. Meski kurus dan tidak pandai bicara dia bisa menghasilkan berbagai bentuk dan model perlengkapan rumah. Dia mampu menguasai semua perlengkapan mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Semuanya masuk dalam radar berpikirnya yang jenius.
Ketika menemukan material yang keras, dia memakai alat yang keras. Saat mengolah bahan yang kecil dia mendesainnya dengan baik. Ada banyak alat yang dia pakai untuk menjaga kualitas karyanya.
Ada satu hal yang semua orang lupa dari si tukang kayu itu. Bekerja adalah waktu yang tepat baginya untuk merenung. Bersamaan dengan satu perlengkapan yang dihasilkan, dia telah menciptakan berbagai ide untuk perlengkapan yang lain. Itulah mengapa seorang tukang kayu tidak cepat mengambil sebuah keputusan.
Salut buat ketegasan sang tukang kayu. Menghasilkan satu karya tangan saja membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra. Namun dia bertindak tegas ketika fungsi dan kulitas perlengkapan itu tidak sesuai dengan kepuasan pembeli. Dia tidak segan-segan mencopot dan memecat dengan cepat tanpa ribet.
Inilah kualitas pemimpin yang unik dan berkharisma. Bersyukur si tukang kayu menjadi desainer perayu layar Ibu Pertiwi. Nahkodaku jangan pernah takut berlayar. Samudra dan laut yang garam menantimu.
Lawan mereka dengan gayamu. Yakinlah, kita akan tiba pada sebuah fase di mana sukacita dan damai sejahtera dirasakan oleh semua orang.
Oh ya, tunggu dulu. Ada satu hal yang dilupakan. Peti-peti mati dibuat oleh siapa si? Aduh si tukang kayu ni. Gawat deh. Dia meladeni permainan mereka dengan menyediakan peti-peti mati. Ingin tertawa tapi tak sudi.
Si tukang kayu tahu bagaimana meladeni kerasnya hati manusia. Dia tidak menghadapi pedang dengan pedang. Ketika mereka bermain api dia memakai air. Saat mereka berteriak dia memilih diam.
Nah, ketika mereka kecapaian dia mulai memainkan perannya. Si tukang kayu sangat paham filosofis Jawa. "Keris disimpan di belakang". Ketika mereka tidur dengan keris itu dia akan melakukan pembalasan.
Ingat, pembalasan si tukang kayu bukan dengan darah dan tumbal namun dengan hukum dan aturan. Sekali lagi, salut untuk si tukang kayu. Dia tidak membenci pribadi. Dia menyayangi mereka. Dia merangkul semua. Dia hanya membenci perbuatan mereka.
Karena membenci perbuatan mereka, hukum selalu berbicara di depan fakta. Hukum tidak pandang bulu. Yang salah diadili sesuai aturan yang berlaku. Hukumlah yang membalas perbuatan mereka yang memecah belah.