Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Beriman, Salah Kaprah

10 November 2020   20:00 Diperbarui: 10 November 2020   20:17 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku melihat orang dalam jumlah besar bergerak ke arah bandara. Mereka ingin menjemput seseorang yang akan memimpin revolusi di negeri ini. Banyak dari mereka mengantri di pintu masuk. Ratusan mobil dan ribuan motor pun diparkir di jalan tol sepanjang tujuh kilo meter.

Aku senang melihat antusiasme mereka. Seorang pemimpin yang baik layak disambut dengan mulia. Pemimpin yang mereka sambut memiliki ide dan ajaran yang cemerlang. Ya, wajarlah jika massa yang datang membeludak.

Aku kembali menyeruput kopi di teras rumah. Ribuan kendaraan bergerak secara perlahan menuju bandara. Ribuan massa kompak mengenakan pakaian putih mewarnai ibu kota yang saat ini coklat kehitaman akibat banjir. Aku tetap setia pada hitamnya kopi yang telah kuteguk setengah gelas.

Pikiranku kembali ke halaman parkir bandara. Petugas parkir pasti kewalahan mengatur parkiran. Pengendara yang dewasa mengikuti arahan dengan baik. Namun, cacian dan makian akan diterimanya saat arahannya tidak diterima oleh mereka.

"Kasihan si tukang parkir."

Petugas yang mengatur karcis masuk kendaraan juga lebih menderita. Akan terjadi antrian panjang kendaraan entah roda dua atau empat. Teriakan, ludahan serta bel kendaraan yang protes terhadap pelayanan, pasti tak terelakan.

"Sial! Lama banget tahu! Cepatan! Kelamaan ni," demikian situasi jika dibayangkan.

Orang-orang dari pelosok daerah berhamburan di area bandara. Aku mengapresiasi militansi mereka. Domba membutuhkan seorang gembala. Gembala menjadi penjaga buat domba-dombanya. Jika ada domba yang hilang, gembala akan mencarinya.

"Ah, sabar dulu! Dalam peristiwa hari ini, siapa domba dan siapa gembala? Biasanya seorang gembala mencari, menjemput, dan menemukan domba yang hilang. Dia meninggalkan ribuan domba guna mencari satu yang hilang. Kok, ada yang berbeda dari lautan massa di bandara hari ini."

Gembala hilang dijemput ribuan domba. Aku bingung mana gembala dan mana domba. Domba bertindak sebagai gembala dan domba itu sendiri. Ah, aku jadi bingung memikirkan itu. Aku meneguk kopi yang mulai kehilangan rasa panas.

Hampir tiga jam aku duduk di teras rumah. Gerimis menambah syahdu suasana ibu kota. Mataku masih terpaku pada ribuan kendaraan di jalanan. Aku sempat berpikir nakal mereka sedang merayakan kemenangan Joe Biden menjadi Presiden Amerika ke-46.

"Tidak mungkin!" aku membantah, "Pemerintah Amerika sudah sangat dewasa dalam meluapkan ekspresi dan selebrasi kemenangan. Akan ada konferensi pers yang tertib aturan. Tidak menghalangi kegiatan di tempat umum seperti kemacetan yang terjadi sekarang ini. Publiknya pun datang merayakan dengan membawa misi perubahan yang bernuansa positif."

Demikian protesku terhadap pemikiran liar yang terlintas di kepala. Suara sorak-sorai terdengar dari arah bandara. Aku enggan berdiri ataupun berjalan melihat lebih dekat arak-arakan itu. Yang pasti, aku ingin kemacetan ini segera berlalu. Biarlah mereka yang terlambat dalam penerbangan memperoleh banyak waktu untuk menunggu pesawat berikutnya.

"Hidup! Hidup! Mati! Mati! Hidup! Mati!"

Pekikan antara hidup dan mati membuncah ke udara kotor ibu kota. Aku bingung akan teriakan itu. Siapa yang mati dan siapa yang hidup? Ah, ada-ada saja mereka. Bertahan hidup di jaman ini bukan kembali ke hukum rimba. Demikian juga dalam sikap fanatisme terhadap pemimpin. Kehadiran pemimpin hendaknya mengarahkan pengikutnya pada suatu bentuk Bonum Commune," aku mengkritik dalam hati.

Demikian juga dalam nuansa agama. Saat ini beriman saja tidak cukup. Beriman tanpa akal budi, menyesatan. Hal ini menuntun orang pada kesadaran untuk mendalami bagaimana cara beriman yang benar. Mendengar ajaran saja tidak cukup. Pengajar bisa memberikan ajaran sesat. Perlu penghayatan, tindakan iman dan akal budi.

Mataku terpaku pada gerak kendaraan di jalanan. Namun, logika menarik aku pada pengetahuan akan imanku sendiri. Suasana di depan mata mengantarku pada refleksi iman. Gembala bekerja guna menjaga kawanan domba. Dia tidak bisa menuntun mereka tuk menjauh dari apa yang diharapkan oleh Pemilik Kandang.

Domba yang pintar pasti memiliki insting agar bisa kembali mencari jalan yang benar. Bau gembala yang baik pasti bisa dicium oleh domba yang sehat. Jika domba memiliki insting tuk menemukan gembala yang benar, mengapa manusia yang dianugerahi logika semakin jauh dari kepintaran dan kebijaksanaan.

Gembala tidak selalu salah. Bisa jadi domba terlalu fanatik mencium dan mengikuti bau badan gembala. Insting hanya untuk domba dan kawanannya. Manusia berjalan dalam iman dan akal budi.

"Syukurlah suara macet itu hanya angan-angan yang kebetulan lewat di kepalaku."

Aku mengambil gelas kopi dan mengemasnya dalam ikatan kain serbet. Udara di bawah pohon beringin ini sangat segar. Aku bisa mengembalakan banteng dan domba dengan baik. Kampung halamanku masih jauh dari bangunan-bangunan elit.

Klakson motor, teriakan di jalanan, hinaan di tempat parkir dan pintu masuk membeli karcis, hanyalah suara riuh dedaunan pohon. Pohon apa? Pohon yang tercemar oleh siraman paham radikalisme, konservatisme, eksklusivisme, separatisme dan lain sebagainya.

Aku berjalan di depan banteng dan domba. Mereka memasung aku untuk bisa setia pada jalan yang telah diajarkan oleh Yang Ilahi. Hal ini guna menjaga ortodoksi iman agar tidak dipelesetkan dan disesatkan.

"Beriman itu pada Sang Ada yang telah dan selalu ada dan takdiadakan bukan pada ada yang diadakan serta akan tiada."

Seorang Antonius Maria Claret dengan kerendahan hati menyadari hal ini, "Saya (Allah) adalah yang ada, dan engkau (manusia) adalah yang tiada, engkaulah ketiadaan dan bahkan kurang dari ketiadaan karena ketiadaan tidak berdosa tetapi engkau berdosa."

Gugatan di atas adalah gugatan personal Claret yang mengacu pada diri sendiri. Tetapi sesungguhnya gugatan ini menjadi gugatan kolektif-universal terhadap manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun