Malam ini terasa indah sekali. Kupang rasa neraka dan surga. Panas di siang hari. Dingin di malam hari. Ribuan bintang bercahaya di kolong langit. Terdengar bunyi motor membelah keheningan malam.
Aku masih duduk di tepi bak penampung air. Sesekali bulu badanku merinding. Angin malam membawa hawa panas yang menguap di atas batu karang. Sesekali terdengar gonggongan anjing-anjing anak yang meminta induknya untuk segera menyusui.
Air di bak penampung kosong. Tampak bunyi air yang masuk terdengar nyaring. Gemercik air sesekali menyentuh kulitku. Angin sepoi-sepoi terus menyegarkan tubuhku.Â
Dua pohon pepaya dengan beberapa daun kering terus bergerak. Beberapa pakaian yang dijemur tak luput dari goncangan angin. Sebuah handuk berwarna kuning dijemut di jemuran khusus.
Seekor anjing anak mencurigai keberadaanku. Sejak duduk di tepi bak aku tak bergerak dan bersuara. Aku mengamati suasana malam dengan tenang tanpa kata-kata.Â
Seekor anjing anak berwarna putih datang mendekat ke arahku. Sebelum mendekatiku, kurang lebih lima meter, dia batuk dan memuntahkan sesuatu. Aku heran akan anjing itu. Batuknya terdengar seperti suara seorang tua.
"Kapan air di bak ini penuh?" tanyaku sembari melihat ke dalam bak yang gelap.
Suara air yang jatuh terdengar sangat nyaring. Butuh beberapa jam lagi agar bak ini bisa penuh.
"Biar saja. Kalau aku ke kamar pasti sulit merasakan angin segar seperti ini. Selagi bumi masih bersahabat aku harus menerimanya. Biarlah waktu mengatur alam ini sesuai dengan keinginannya," kataku sembari menatap daun mahoni yang bergoyang.
Semakin aku duduk memaku badan di tepi tembok, hatiku terasa tenang. Aku belum pernah merasakan ketenangan seperti ini. Selama ini aku menghabiskan waktu untuk ikut terlibat dalam situasi perkembangan di negara ini.Â
Pergumulan hidup yang begitu rumit membuat urat kepalaku tertarik dan putus.