Petrus Sahabatku.
Apa kabar? Pasti kamu sehat.
Petrus. Aku ingin kita duduk bersama lagi. Mendengar kisah-kisahmu dulu. Heroik. Penuh aksi. Jujur aku kagum sekali padamu.
Oh ya, Petrus. Yudas, sahabat kecil kita. Tingkahnya sekarang sangat berubah. Aku tak tahu mengapa begitu. Dia sungguh berubah sekarang. Berbeda. Ya, aku sulit menjelasnya dengan kata-kata.
Petrus. Melihat aksi Yudas yang semakin menjadi-jadi, mungkin aku bisa meminta pada Guru agar bisa membiarkanmu bangkit dalam hari-hari ini. Hanya engkau yang berani maju ketika angin badai menerjang "Perahu" Kita.
Yudas Pengkhianat dan para elit membungkus diri saat kekacauan datang menerpa. Mereka aktor di depannya. Saat kekacauan muncul mereka bersembunyi di tempat yang aman. Mencuci tangan, berpangku kaki, dan meneguk arak-arak memabukan.
Petrus lakukan sesuatu. Mohonkan pada Guru untuk melawat dan melewati hidup mereka tenggelam di bawah tanah dalam air dari Perahu yang tengah ditiup angin-angin pemusnah.
Aparat sekarat. Rakyat melarat. Mereka membuncit.
Petrus seandainya saja. Ya, seandainya aku adalah kamu. Itu pasti.
Datanglah Petrus. Kita seruput secangkir kopi bersama. Mari meneguk dalam rasa panas, manis, dan pahit dari aroma-aroma kegelisahan.
Menghabiskan kopi menyisakan ampas.
Puas. Bebas.
Mari berbagi kepekaan ketika meja telah menjadi bundar. Kita bersama mengelilinginya.
Senyum. Tawa. Bahagia. Syukur. Cinta. Damai. Sejahtera.
Petrus. Engkau pasti tahu maksudku. Itu menjadi alasan mengapa aku rindu padamu.
Secangkir Kopi hangat untukmu,
Dari Aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H