Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Program Studi Demo, Pentingkah?

11 Oktober 2020   23:16 Diperbarui: 11 Oktober 2020   23:28 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang ibu menerima pesan dari anaknya yang sedang kuliah di Surabaya, "Bu, syukur kepada Tuhan. Saya dapat nilai A karena ikut "Demo".

Saking senangnya, ibu itu membalas, "Puji Tuhan anakku. Ibu bangga padamu. Fokus terus pada mata kuliah itu, ya. Titip salam ibu kalau bertemu dosen pengampu. Jangan lupa puji dosennya. Biar kamu mendapat perhatian dan dekat dengannya. Ibu yakin  pasti akan diangkat menjadi Duta Mahasiswa Program Studi Demo . Ibu doakan, ya."

Unik. Menarik. Nyata? Bisa jadi. Mengapa? Ya, realitas menunjukkan itu. Ada fenomena di negeri ini, seorang dosen memberi nilai A pada mahasiswanya yang mengikuti demo menolak UU Cipta Kerja. 

Jika demikian, semua mahasiswa yang jarang mengikuti kuliah pasti akan ramai-ramai melakukan demonstrasi dimana-mana.

Kuliah tatap muka dirasa kurang sreg. Identitas kemahasiswaan kurang sempurna kalau tidak "bersorak-sorai". Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas dirasa seperti neraka. Berguna bagi mereka yang berintelek tinggi dan petaka bagi mereka yang "biasa-biasa saja". 

Rasa kantuk akan melanda mata ketika pelajaran dimulai. Saat selesai kuliah mahasiswa sudah masuk dalam mimpi ke tujuh, bertemu bidadari.

Karena demo sangat penting, maka banyak mahasiswa akan memberi usulan untuk menambah program studi (prodi) Demo. Terjadi perdebatan dalam pertemuan. Ada pro dan kontra. Tentu kita tahu siapa yang pro dan siapa yang kontra.

Rektor universitas yang berkualitas pasti akan menolak prodi ini. Tidak perlu menambah prodi demo dalam kurikulum kampus. Demo bisa diajar oleh dosen-dosen yang mengampu mata kuliah seperti Sosiologi, Pancasila, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.

Namun, bagi mereka yang pro pada prodi demo akan mempertahankan ide, gagasan dan usulannya dalam pertemuan. Tiba pada keputusan akhir, rektor universitas tetap menolak usulan mengenai mata kuliah itu.

Situasi memanas selepas pertemuan. Dosen penggagas mata kuliah demo melaksanakan pertemuan kilat dengan mahasiswa. Dia meniadakan ujian dan tugas. 

Semua mahasiswa akan mendapat nilai A jika berani membuat kekacauan dimana-mana mengatasnamakan prodi demo. Hal ini menarik dan unik. Herannya, banyak mahasiswa dari mata kuliah lain turut dalam aksi demo soal prodi ini.

Hari demo ditetapkan. Ada aksi mogok kuliah dalam tiga hari. Tiba pada hari keempat semua mahasiswa yang tergabung dalam aksi mendukung mata kuliah demo memadati gedung rektorat universitas. Orasi bertebaran.

Adapun visi dari prodi demo adalah pertama, ingin meningkatkan daya kritis mahasiswa terhadap ketidakadilan di negeri ini. Kedua, ikut mengawasi program kerja pemerintah. Ketiga, membantu pemerintah melihat secara jeli politikus dan aparat negara yang melakukan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme.

Orasi mahasiswa para pendukung prodi demo tidak ditanggap oleh rektor ataupun dekan-dekan kampus. 

Mereka diminta untuk melakukan debat terbuka di tengah warga kampus. Hal ini guna membuktikan apakah usulan mereka baik dan bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.

Debat berlangsung ramai. Mahasiswa pendukung demo satu per satu meninggalkan tempat debat. Mereka kalah argumen perihal prodi demo. 

Demo menjadi menjadi pelajaran yang bisa diajarkan oleh beberapa mata kuliah humaniora. Induk dari semua ilmu pengetahuan, filsafat, juga bisa menelaah pelajaran tentang demo.

Akhir dari semuanya, prodi demo tidak diterima di kampus. Dosen pendukung mata kuliah ini dipertanyakan kemampuan akademiknya. Profesi dan gelarnya diuji kembali.

Mahasiswa yang sebelumnya mendapat nilai A karena mengikuti demo, kembali menelepon ibunya, "Bu saya mendapat nilai C. Maaf saya tidak bisa mendapat nilai A lagi. Usulan ibu soal prodi demo ditolak oleh rektor. Tolong doakan agar ada kekacauan lagi di negeri ini. Ya, biar aku bisa lulus cumlaude karena selalu ikut dalam demo."

Jawaban ibu mengagetkan anaknya, "Anakku, ibu berharap kamu kembali ke rumah sekarang juga. Jangan melanjutkan kuliahmu. Ibu sadar nilai cumlaude di kampus karena mendapat nilai A, tidak diperoleh dari kualitas intelektual yang baik. Ibu takut kamu akan menjadi pendemo bagi ibu jika tak ada lauk dan sayur di musim kering nanti."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun