Ketika amarah lebih mendominasi hidup seperti tanpa arah. Segala sesuatu menjadi kosong dan hampa. Akal sehat sulit membedakan mana yang harus dituruti dan mana yang harus dikontrol. Nalar kebinatangan seketika menguasai kemanusiaan. Apapun yang terlintas dijadikan sarana penghancur. Entah melalui kata-kata ataupun tindakan.Â
Dulu saat menempuh perjalanan jauh dari Yogyakarta ke Surabaya, di atas kereta api aku duduk bersampingan dengan seorang gadis Muslim yang sangat cantik. Dia manis dan sangat sopan. Bukan kebetulan nomor seat keretaku berurutan dengannya. Aku duduk bersamanya.Â
Setelah berkenalan dengannya, aku mengakui bahwa kecantikannya tidak dibuat-buat. Dia anak dari seorang pramugari pesawat garuda. Ibunya meninggal karena kecelakaan pesawat. Aku lupa menanyakan tahun berapa karena tak mau membawanya ke masa lalu.Â
Dia tidak ingin menjadi seorang pramugari mengikuti ibunya. Trauma itu muncul ketika dia dan adik-adiknya harus kehilangan sosok seorang ibu. Satu hal yang mengagetkanku, dia ingin mengabdi di panti asuhan di Surabaya. Dia kuliah jurusan Farmasi di salah satu universitas di Yogyakarta. Aku sempat bingung memikirkan jurusan kuliahnya dan tempat dia bekerja. Dalam hati aku hanya menduga mungkin dia ingin menjaga kesehatan, dalam hal ini obat-obatan untuk anak-anak di panti asuhan.Â
Ketika sampai di stasiun Solo, seorang nenek dan kakek paruh baya menempati dua kursi di depan kami. Aku bersyukur mendapat teman cerita yang baru. Wajar bahwa aku kehabisan topik ketika berbincang bersama gadis cantik di sampingku selepas dari stasiun di Yogyakarta.Â
Gadis cantik di sampingku mengenakan jilbab berwarna pink. Perjalanan dari Solo ke Sragen terasa indah. Belum lagi gadis di sampingku tertidur pulas. Aku mengagumi kecantikannya saat tidur. Pipi lesungnya menyempurnakan pribadinya. Sesekali dia tersenyum dan membuatku salah tingkah.Â
Lelaki tua yang menjadi teman bicaraku tersenyum ketika melihat wajah konyolku. Aku malu melihatnya yang terus melototiku.
Dia berbisik dengan pelan, "Istri ya, Mas?"
"Tidak Pak. Kami baru saja kenalan. Kebetulan satu tempat duduk. Dia mau ke Surabaya untuk berlibur. Aku mau ke NTT," ungkapku sembari menjaga jarak dengan gadis di sampingku.Â
Hatiku mulai kacau. Ada gejolak untuk mengungkapkan rasa. Tapi hatiku menolak. Rasanya seperti langit dan bumi jika aku mengenalnya secara mendalam. Aku berusaha berdebat dengan suara hatiku sendiri. Â Â
Waktu menunjukkan pukul 00.12 ketika kami berhenti di Sragen. Gadis di sampingku menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku merasa takut. Saat itu aku seperti memikul batu dan emas. Aku tak mampu bergerak seincipun. Badanku terasa kakuh. Aku berusaha menjadi sandaran yang memberikan kenyamanan untuknya. Namun, itu hanya bualan rasaku padanya.
Aku lupa bahwa semua menjadi khayalan di antara rasa yang membelenggu. Aku hanya seorang NTT. Cintaku pun bernada NTT, Nanti Tuhan Tolong. Kepada siapa hatinya mendapat sandaran akhir. Tuhan pasti berbisik ke telinganya, "Dialah tulang rusukmu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H