Sore itu saat hendak kembali. Tanpa sengaja aku menemukan sepucuk surat. Jatuh terhanyut angin dekat danau. Di tempat itu juga aku pernah melepas pergi seseorang yang pernah singgah di hati. Saat itu aku mengatakan semua kejujuran dan rahasia hati padanya. Air matanya tak terbendung. Aku merasa bebas saat dia memaksaku memilih dua kehidupan yang sungguh bertentangan.Â
Aku tak pernah berpikir bahwa apa yang diinginkannya adalah awal dari sebuah perpisahan. Dalam benak terlintas seribu akibat ketika aku berusaha menjawab pertanyaannya. Aku hanya mau menjaga rasa agar tidak ada lagi yang tersakiti. Namun, Â semuanya memang harus berakhir agar tidak jatuh terlalu dalam.Â
"Aku hanya ingin jawabanmu sekarang. Engkau lebih memilih dia atau aku? Aku butuh kepastian bukan janji, janji dan janji," ingatku sembari membayangkan ekspresi wajahnya.Â
Saat dia melepar pertanyaan itu ada jedah yang begitu lama. Aku seperti manusia tanpa kata. Dia bisu seribu bahasa. Aku memang tidak ingin menjawab pertanyaannya. Semua karena hati tak mau terluka hanya karena sebuah kejujuran.Â
"Mengapa harus bertanya sekarang? Jalani dulu. Biar waktu yang akan membuktikan. Aku tidak ingin ada perpisahan ketika engkau mendengar jawaban ini," jawabku pelan.Â
"Sekali lagi aku ingin kamu paham. Aku butuh kepastian bukan janji. Seribu janji sudah terlontar dari mulutmu. Janji hanya akan menggantung hati. Saat tidak terpenuhi, hati itu akan sakit dan perlahan mulai mati," ungkapnya berjalan meninggalkanku.Â
"Sabar. Mengapa harus pergi kalau memang rasa itu masih ada? Aku tahu engkau hanya menipu diri sendiri. Jangan paksa aku menjawab pertanyaanmu. Biar waktu dan kesungguhan cinta yang akan menjawabnya. Tolong jangan pergi," pintaku sambil menggenggam tangan kirinya.Â
"Baca ini!" balasnya sembari melempar sepucuk surat.Â
Surat itu jatuh tepat di kakiku. Dia berjalan meninggalkanku seorang diri. Aku tahu dia merasakan sakit yang mendalam. Air matanya jatuh tak terbendung. Aku mengambil sepucuk surat darinya. Ingin rasanya aku membaca di senja itu. Tapi hati kecilku memutuskan untuk tidak membacanya.
Surat itu kusimpan di dalam sebuah botol. Aku tak ingin mengetahui isi surat itu. Biarlah botol itu yang membungkus luka dan menghanyutkannya. Aku tetap melepasnya pergi dan berjalan tanpa ada kata perpisahan. Aku ingin kami saling mencintai dalam rindu.Â
"Sayang, maafkan aku. Akan kubalas suratmu dalam rindu dan doa. Ingat janji kita di gua Maria kala itu. Tetap saling mencintai meski Tuhan tak merestui," teriakku sambil melempar surat cinta darinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H