Sudah selesai! Kalimat ini patut digarisbawahi usai pesta demokrasi 2019. Pertandingan politik sudah selesai. Keputusan sudah selesai. Semua masyarakat Indonesia telah mengikuti pesta akbar di negara ini dengan baik. Profisiat dan selamat untuk kita semua.
Kiranya ada yang menggantung ketika hanya mengucapkan sudah selesai. Bisa saja kita melihat peristiwa ini sebagai momen yang sudah tapi belum. Momen sudah berkaitan dengan terselenggarakannya pemilu yang amat panjang dalam pergelaran demokrasi di negara kita. Belum berkaitan dengan saatnya baru dimulai.
Pergelaran pesta demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini begitu panas. Kita seperti berkecimpung di dunia yang penuh dengan api. Berbagai api dinyalakan guna memanaskan situasi.Â
Ujung-ujungnya untuk menarik hati banyak orang untuk tertarik pada narasi politik yang dimainkan. Inilah wajah demokrasi yang terkadang harus memakai berbagai wajah guna menarik hati setiap orang.
Pesta demokrasi seperti menghilangkan identitas kita sebagai warga negara yang kaya akan budaya saling menghormati satu sama lain. Kita seperti orang-orang yang datang dari planet lain yang hanya mengandalkan ambisi untuk merebut kekuasaan. Jangan heran jika narasi yang melayang di ruang publik lebih pada kebencian, perpecahan dan pemisahan.
Inilah realitas yang tidak bisa dihindari. Kita sudah memasuki spasi itu. Ketika semuanya sudah selesai, kita perlu sadar dan harus kembali berbenah. Tiang-tiang persaudaraan yang jatuh, patah dan hancur akibat pesta ini, kembali dibangun demi rumah Indonesia ini.
Setiap warga punya ruang yang sama untuk membangun narasi yang baik guna membangun kebaikan bersama. Lupakan ambisi kekuasaan yang selalu membakar dalam hati. Luapkan amunisi kesatuan guna membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.
Obat yang bisa menyembuhkan luka demokrasi adalah apresiasi. Berani maju berarti berani mundur. Mundur saat pilihan orang belum berpihak pada kita. Saat mundur jangan pernah takut tuk maju memberi apresiasi. Dengan demikian jiwa pemimpin sudah tampak dalam diri meski belum terpilih.
Maju atau terpilih harus mampu menggandeng yang belum terpilih. Jiwa seorang pemimpin diukur sejauh mana dia mampu merangkul semua orang. Kebijaksanaan terbesar muncul ketika dia mampu memenangkan hati yang kalah. Inilah ideal pemimpin yang baik.
Ujian terbesar seorang pemimpin bukan pada saat diberlangsungkannya pergelaran pemilu. Semua menjadi nyata ketika kursi kepemimpinan sudah diduduki. Ada harapan narasi kesatuan kembali digaungkan di bumi Indonesia. Narasi yang baik mampu masuk dalam hati setiap orang.