Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cala Tiba Aku Nana

27 Juni 2019   08:53 Diperbarui: 27 Juni 2019   09:20 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku perempuan. Sejak dalam kandungan aku menjadi perempuan. Tidak ada yang menginginkan aku menjadi perempuan. Aku ada sebagai perempuan. Aku tidak menolak diri sebagai perempuan.

Aku perempuan Manggarai. Memeluk budaya Manggarai. Bapa dan Mama adalah orang Manggarai. Aku berbahasa Manggarai. Aku cinta kemanggaraian yang melekat dalam diri. Aku seratus persen perempuan Manggarai.

Dalam diriku mengalir kebudayaan Manggarai. Aku bangga memakai songke. Mahkota balibelo menjadi puncak kecantikanku. Aku bahagia bisa bertumbuh dalam darah Manggarai. Tak ada yang bisa mengambil kebahagiaanku sebagai perempuan Manggarai.

Kebanggaanku sebagai perempuan Manggarai terpatri dalam diri saat kecil. Kini semuanya semakin hilang. Aku bertumbuh besar. Ada kegelisahan yang merongrong hatiku. Setiap kegelisahan itu meninggalkan sakit yang mendalam. Mengapa? Aku seperti tak meyakini itu.

Sahabat-sahabatku sudah banyak yang berkeluarga. Mengapa aku masih seorang diri. Apa yang kurang dariku? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku kurang berpendidikan? Apakah aku kurang mencintai budaya Manggarai? Pertanyaan itu menyisahkan misteri.

Aku sekarang memiliki kesempurnaan menjadi perempuan Manggarai. Aku siap menjalin hidup bersama orang yang aku cintai. Sayang, hingga kini aku masih seperti dulu. Ada apa dengan diri ini? Siapakah aku ini? Apakah aku layak menjadi orang Manggarai?

Aku menemukan jawaban atas misteri hidup ini. Ketika kembali ke kampung, aku mengikuti pesta sekolah. Sudah menjadi kebiasaan orang Manggarai, setiap anak yang akan menyelesaikan kuliah diadakan pesta sekolah. Kebiasaan ini sering dinamakan pesta sekolah.

Saat itu aku bangga duduk di pelataran rumah. Senyuman hangat kuberikan kepada setiap mereka yang datang. Pesta adat berlangsung meriah. Setiap makanan memiliki harga. Aku sesekali diajak untuk bergoyang dan berdansa bersama mereka yang hadir. Di akhir tarian selalu ada uang. Dari pagi hingga malam pesta terus berlangsung. Hampir tiga atau empat jam jumlah uang dibacakan. Hingga malam uang sudah menembus angka sembilan puluh lima juta. Senyum indah muncul dalam pesta malam itu. Aku bangga mendengar nilai yang dibacakan. Akhirnya peristiwa hari ini menghapus keringat orangtua selama beberapa tahun. Mereka bahagia dan aku bahagia.

Selepas peristiwa hari itu aku semakin bahagia. Gelar S3 yang kuraih selama ini memudahkanku untuk diterima kerja. Aku memiliki pendapatan yang luar biasa. Orangtua dan keluarga sangat senang. Aku bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak ada yang kurang dari hidupku sekarang. Semuanya bisa diperoleh dengan uang. Aku terlahir sebagai anak yang paling sukses di kampung. Tidak ada perempuan lain yang memiliki gelar sepertiku.

Kebanggaanku memiliki gelar yang tinggi adalah awal dari semua kegelisahan ini. Aku semakin mempertanyakan keberadaanku sebagai perempuan Manggarai. Usiaku sudah beranjak ke kepala tiga. Sampai saat ini belum ada yang berani masuk dalam kehidupan cintaku. Aku bahagia dengan uang namun belum menemukan cinta tanpa uang. Perasaanku tidak bisa memberi lebih.

Dalam kegelisahan itu terdengar dering teleponku. Aku tahu siapa yang mengontakku saat ini. Alan, dia seorang yang sangat kusayangi saat ini. Kami hanya bisa bertemu selepas pertemuan dua bulan lalu. Dia dan aku dipisahkan sementara hanya karena belum ada jawaban yang pasti dari keluarganya. Semuanya perihal belis yang harus dia bawa untuk meminang aku.

"Sayang, apa kabar? Semoga baik-baik saja. Jangan lupa berdoa agar kita tetap saling mencintai," pesan singkat dari Alan.

Aku tak mampu membalas setiap pesan darinya. Aku malu kepadanya dan keluarganya yang telah datang dengan sejuta harapan. Tapi sayang mereka pulang dengan kepala lusuh. Tak ada kebahagiaan yang mereka peroleh. Namun, aku lebih malu pada rasa cintaku pada Alan. Aku bisa menyelesaikan kuliah S3 juga berkat bantuannya.

Orangtua memang mengirim uang untuk membiayaiku di Yogyakarta. Mereka tidak tahu siapa orang terdekat yang selalu hadir saat aku sakit. Alan selalu menjadi orang pertama yang selalu siap menemaniku di saat aku mengumpulkan desertasi. Dia selalu memberi waktu untukku. Ujian terbesarku saat ini bukan soal mempertanggungjawabkan materi kuliah tapi soal cinta, perhatian, dan kasih sayang.

Pengorbanan Alan yang membuatku berani berkata, "Sayang, kita akan hidup bersama di tanah Manggarai. Aku berjanji dalam kenyamanan ini, kita akan hidup bersama. Aku merasa nyaman dan tak mungkin berpaling ke rasa yang lain. Alan, engkau segalanya bagiku."

Aku terus menyakini dia dengan sepenuh hati. Aku ternyata salah. Bahasa wajahnya saat itu penuh keraguan. Aku tak pernah mengerti soal hal itu. Ada yang dia sembunyikan saat seribu satu litani cinta terbersit dari mulut manisku. Dalam tetesan air mata aku sadar bahwa jawabannya atas semua ungkapan hatiku adalah ketakutan akan masa sekarang.

"Kita berdoa saja semoga harapan ini menjadi kenyataan," demikianlah kata-kata yang selalu terucap di akhir kata hatiku padanya.

Malam ini di hadapan fotonya aku mengerti akan semua misteri diamnya. Orangtuanya petani. Dia dibiayai dari sekarung padi yang dipanen setiap bulan. Dia anak pertama dalam keluarga. Adik-adiknya sebentar lagi akan kuliah. Harapan orangtua dia bisa membiayai adik-adik. Aku bangga sekaligus menyesal telah menggoreskan luka di dalam hatinya.

"Sayang, maafkan aku yang selalu tak mengerti pada semua kegelisahanmu. Maafkan aku yang telah menggantung mimpi setinggi langit yang tak bisa kita raih bersama. Aku telah menjebakmu dalam rasa yang akan selalu berpisah," ungkapku dalam rasa menyesal yang mendalam.

Botol minuman yang menyimpan kata-kata adat masih disimpan di lemari doa. Aku menatap lekak benda yang menjadi pemisah cintaku dan cintanya. Rasa benci semakin memuncak saat kain songke yang dikenakan bapa membentang di samping botol itu.

"Tuhan, apakah tulang rusukku dipisahkan oleh kedua benda ini? Mengapa aku tak bisa bersama Alan? Apakah Engkau tak bisa berbuat sesuatu atas adat istiadat ini? Engkau lebih berkuasa atas segala sesuatu di muka bumi ini. Tunjukan kuasa-Mu atas kami di tanah Nuca Lale ini," protesku dalam hati.

Aku ingin membuang kedua benda ini. Namun, aku tak bisa melangkahi adat yang diturunkan oleh nenek moyangku. Bapak adalah kepala adat di kampung ini. Aku tak bisa mempermalukan bapak hanya karena rasa ini. Aku tetap harus membuang kedua benda ini yang selalu memberi jarak antara aku dan Alan.

Dengan berani aku mengambil botol dan kain songke yang terletak di lemari doa. Tertinggal patung bunda Maria dan salib Tuhan Yesus. Ada harap agar bahasa adat tidak lagi serumit menjalin cinta di awal perkenalan. Bahasa adat hanya mau menekankan bahwa manusia perlu dihargai bukan menjadi materi yang diteken dengan nilai materi yang tinggi. Jika Tuhan bisa merendahkan diri, mengapa adat tak bisa memberi kemudahan bagi setiap orang?  

Aku membuang botol yang menyimpan bahasa adat dan kain songke itu. Tak seorang pun yang melihatnya. Aku legah bisa membuang kegelisahan ini. Semoga semuanya bisa berubah. Selepas membuang kedua benda itu aku kembali ke lemari doa. Aku menitip doa buat keluarga, bapa-mama, Alan dan semua yang terlibat dalam peristiwa hidupku. Semoga saja Tuhan bisa membuka jalan yang baik.

Aku bisa meletakkan kepala malam ini dalam rasa batin yang lebih mendalam. Tuhan terima kasih.

Sekian.

- Cala Tiba Aku Nana memiliki arti "Bisa Terima Saya Nana". Nana panggilan kesayangan untuk laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun