Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Wanita Pendarahan

13 Juni 2019   21:08 Diperbarui: 13 Juni 2019   21:19 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam mengoyak jiwa. Dingin mengikungi hati. Dalam keheningan batin, darah merontah. Membeludak menuju pori-pori. Keringat bercucuran mengitari wajah rentah.

Di sela napas raga tersiksa. Menyusuri lorong gelap langkah terkapar. Berteriak tak ada yang mendengar. Menangis banyak yang masa bodoh. Pikiran mengoroti hidup. Mungkin sudah saatnya.

Perut tua semakin membengkak. Gejolak hidup terus bergerak. Mencari pintu rahim tuk keluar. Di selangkangan darah mengalir. Larut dalam luka dan liku kehidupan. Dia sedang mencari jalan kehidupan.

Air ketubannya pecah. Membungkah ke cakrawala tak berumput. Debu beterbangan. Aroma amis membising ke udara. Di atas harapan penuh derita langit terus menjamah. Malam berteriak minta tolong. Cepat tarik napasmu sekali lagi.

Keringat memuntahkan air asin. Jemari mengekang perjuangan. Jangan berhenti sebelum dia jatuh ke bumi. Di atas daun kering hidup bermunculan. Kaki dari bocah polos. Darah dari rahim wanita. Tanah kering menadah asa. Hidup kian terasa. 

Masih setengah badan. Hidup masih di mulut rahim. Tangannya mulai bergerak. Udara dingin mengganggu kulit tipis. Tali pusar masih dalam rahim. Desahan minta tolong pada alam menyuara penuh duka. Perjuangan penuh misteri di atas materi tak bernilai. 

Sejengkal tangan dia terbebas. Rahim tak mau ditinggal kosong. Dia masih saja menjamah jumbai kulit bocah. Perpisahan akhirnya tercipta. Sembilan bulan sepuluh hari cukup menyakitkan. Reuni cinta hidup dan hati terus terjalin. Kini mereka terpisah saat ketuban pecah dan darah mengalir di selangkangan.

Suara tangis mengalir dari dua hati. Tangisan rahim merindu cinta. Bayi bersuara dalam tangis tak bermakna. Hidup itu kejam sejak sedetik engkau berpisah dari rahim. Tangis rahim adalah berkat untuk hidup.

Katupan tangan dalam pelukan cinta menghapus gelap malam. Embun-embun jatuh di kulit bau rahim. Detak jantung wanita memberi hidup. Pelukan kasihnya makna seribu bahasa. Rahim berbisik. Wanitaku kutunggu hidup sembilan bulan sepuluh hari lagi. Wanita tersenyum. Aku siap menjadi wanita pendarahan lagi jika itu maumu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun