Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Maryam, Dekaplah Aku Sekali Lagi

11 Juni 2019   21:48 Diperbarui: 11 Juni 2019   21:58 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggalan kecil dari pesan panjang tertanda jari manismu. Membebaskan jiwa dari jeritan penuh derita. Engkau telah menghidupkan hidupku. Setelah sekian lama kesedihan mengolok-olok aku siang dan malam. 

Lorong-lorong pencarianku sempat buntu. Sehabis disapu sungai air mata. Ziarah air mataku tak kunjung menemukan kedamaian. Betapa di setiap malam aku selalu mengidungkan madah hati. Menyanyikan mazmur penuh seni. 

Aksara-aksara jiwaku beterbangan. Bergumul dan bergulat serta bergeliat. Pisau penderitaan terus mengiris ruang rindu yang kian tak berpenghuni. Dalam kelam aku bersuara, 'bertahan berarti pergi atau tinggal'. 

Drama pergulatan pencarian itu menenggelamkan diri terdalamku. Aku asing dengan namaku sendiri. Bahasa kesepian dipajang dalam memori-memori manis sanubariku. Pergumulan dalam gelap dan terang semakin memberi impotensi batin. 

Keringat batin ini terus mengalir. Menerobos pertahanan yang kubangun dalam luka dan air mata. Penantian yang tak berkesudahan telah menghabiskan amunisi pengharapan. Perlahan-lahan menipis dan kehilangan jejak. 

Aku sadar kesedihan menari-nari di pelupuk mataku setiap waktu. Mengundang tangis dari dari bola mataku. Aku berada di ambang penantian. Bayangmu menerobos daya insaniku. Aku sempat protes, 'semua hati adalah curang'. 

Ternyata aku salah memaknai sebuah penantian. Dia datang dengan segala keindahan mengakhiri nestapa dalam balutan rindu. Sorot matanya meluluhkan benteng kebencianku. Tidak pantas aku melihat apalagi mendekat dan menyentuhnya. 

Engkau yang hadir dalam sedihku tetaplah menjadi cinta dan sayang ini. Hadirmu memampukanku mengambil awan putih dan mengukirnya di gelap hati ini. Biarlah pagi menanti dengan sedih saat malam penuh indahku terus bersamamu. 

Rinai jiwaku dekaplah aku sekali lagi. Katakan pada Tuhan kalau engkau sanggup menepis gelisah dan rinduku. Biarlah Tuhan mengubah waktu dan air mata ini menjadi cinta dan bahagiamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun