Jika ada yang bertanya siapa orang terdekatmu aku akan mengacungkan tangan. Mereka mungkin tak tahu siapa kita. Engkau mungkin tak tahu siapa dirimu. Aku tahu siapa kita siapa dirimu siapa aku.Â
Aku tidak datang dari dunia lain. Tampangku bukan manusia setengah dewa. Aku hanyalah sang lyanmu. Lyan adalah diriku yang lain. Engkau diriku dalam rupamu. Aku diri kita dalam wajah yang berbeda.Â
Ada yang berubah ketika engkau tak lagi dekat dengan kita. Kita bukan lingkaranku sendiri. Engkau masuk dalam bagian dari kita yang kumaksudkan. Mengapa engkau berubah begitu cepat. Meninggalkan jejak yang tak kujumpai dalam bahagia.Â
Aku hanya bertanya mungkin tak butuh jawabmu. Mengapa bingkai senyum yang indah seketika berubah menjadi amarah. Semuanya berawal sejak engkau meninggalkan jejak kaki di atas kerikil cinta yang mengitarimu selama ini.
Dari hati terdalam kutitip doa untukmu. Berharap Tuhan menyentuh hati terdalammu. Membuatmu merasa bahwa seonggok kenangan masa lalu adalah jejak langkahmu yang tetap membekas.
Aku siap menyemai rindu di jejak langkahmu agar engkau kembali ke bilik cinta masa kecilmu. Bilang engkau berkenan aku siap menjadi tanah dan kerikil bagimu tuk kembali memahat senyum cinta masa kecil kita.
Jangan pernah berpikir tak ada orang yang terkungkung dalam kegelisahanmu. Kita pernah keluar dari spasi kehidupan yang sama. Tidur dalam kelambu yang sama. Makan dengan piring dan senduk yang sama. Menangis dalam air mata yang sama. Masihkah engkau enggan kembali.
Semoga engkau membaca doaku ini jika puisi tidak mampu menembus ruang hatimu. Aku yang adalah kita yang lain hanya ingin engkau kembali melangkah di jejak langkah yang sama. Jangan lupa kembali ada jejak di telapak kakimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H