Berbicara mengenai budaya tidak terlepas dari budaya yang dibawa oleh migran Austronesia. Budaya bercocok tanam, pertanian, ladang dan penggunaan alat-alat dari batu, kayu terutama bambu memiliki kemiripan dengan budaya asli Austronesia.
Kebudayaan Timor Timur tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan di pulau Timor. Lalu apa yang memisahkan? Jawaban yang hingga kini belum bisa diganti adalah keberadaan politik Portugis dan Belanda yang menjajah serta membangun skenario memecahbelah kesatuan penduduk di pulau Timor.
Masa KelamÂ
Pada tanggal 18 Agustus 1515 bangsa Portugis mewujudkan mimpinya dengan mendarat di pelabuhan pulau Lifau, Oekusi. Pelayaran terus berlanjut ke Batu Gede, Kupang, Mena dan Manatuto. Sejak menginjakkan kaki di pulau Timor, Portugis membangun sistem ekonomi tradisional yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan di Timor.
Penataan sistem ekonomi yang lebih modern dengan daya beli yang kuat, disertai dengan politik adu domba yang terkesan elok namun licik membuat kerajaan-kerajaan di Timor saling menghanguskan demi mendapat keuntungan kekuasaan politik dan ekonomi.
Kenyataan ini dibaca oleh rakyat. Hingga mereka membuat perlawanan. Pada tahun 1598 timbul pemberontakkan pertama rakyat di pulau Solor dan Timor terhadap Portugis. Namun, kedatangan dan keberhasilan Belanda menguasai Malaka menimbulkan simpati rakyat terhadap Portugis. Banyak raja yang terpecah. Muncul dua kubu yang pro Belanda dan pro Portugis.
Penjajah di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja selalu mencari kepentingan. Oleh karenanya, meski sering terjadi perang di antara mereka namun pada akhirnya mereka tidak mau ditonton sebagai raksasa yang kalah terhadap sesamanya.
Belanda dan Portugis berusaha mengakhiri persaingan dan perseteruan mereka. Pada tahun 1859 diadakan perjanjian batas wilayah. Portugis menyerahkan pulau Flores dan Solor serta mengakui keberadaan Belanda di Timor Barat yang berpusat di Kupang.
Belanda harus mengakui wilayah kekuasaan dan jajahan Portugis yang mencakup seluruh wilayah Timor Timur, termasuk Oekusi, serta menyerahkan daerah Maubara dengan uang sebesar 80.000 Florins (uang Belanda). Sayangnya, kenyataan politik dan ekonomi yang dipecah-belah ini tidak diketahui oleh rakyat Timor.
Dalam perjalanan waktu kesadaran mulai muncul dalam hati rakyat. Pada 1 Juni 1959 terjadi pemberontakan rakyat Timor Timur di Uatocarabau dan Uatolari di daerah Viqueque dan Baguia. Tujuannya untuk melepaskan diri dari Portugis. Pemberontakan ini berhasil dilumpuhkan oleh Portugis dengan serangan balasan yang begitu kejam.
Peran Gereja