Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menunggu Kepastian di Ujung Senja

20 Mei 2019   10:54 Diperbarui: 20 Mei 2019   11:33 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin mentari tak bersinar indah di pagi ini. Sehingga engkau menemukan luka yang ternganga. Protes hati kian menyeruak. Bak air yang mengalir di atas batu yang keras. Kerikil duri kau lewati. Menabrak tanah bercampur kotor. Semua kau perjuangkan demi menjemput asa yang indah di ujung cerita. 

Mungkin mentari tak bersinar indah di siang ini. Masih jatuh di atas ubun-ubun. Memaksa kulit menangisi keringat. Butiran-butian debu menempel di kelopak mata. Engkau sibuk mengeluarkannya. Sakit memang ada. Air mata mengalir. Bola mata berubah merah itu pasti. 

Mentari itu harus hadir dalam dirimu. Semua demi menanti rasa yang indah. Bening matamu jangan sampai ternoda lagi oleh setitik debu yang jatuh tanpa tahu dari arah mana dia datang. 

Dia boleh berceloteh tentang rasa. Tapi dia tak tahu apa yang kamu rasakan. Pernahkah debu menangisi air mata. Debu hanya bisa datang mencari kenyamanan. Tinggal sesaat membuat luka itu ada. 

Saat luka itu ada, mata tak pernah cepat melupakan dia. Debu itu telah meninggalkan perjuangan, air mata dan warna merah di mata. Saat mata terpejam, rasa yang ditinggalkan debu tetap ada. Sakit dan tak nyaman. 

Engkau perlu tidur untuk menenangkan matamu. Saat terbangun rasa itu perlahan akan hilang. Bercerminlah. Lihatlah wajahmu. Ada yang membekas di sekujur paras cantikmu. Engkau masih tetap menatap. Debu itu hanyalah secuil rasa yang singgah sesaat. 

Semua berawal dari mata yang pernah dilukai debu. Mata tetap bening dan wajah tetap utuh. Indah di siang ini.

Mungkin mentari 'kan bersinar indah di sore ini. Senja dalam warna kemerah-merahan memberi asa yang lain. Tidak terlalu panas untuk dirasakan. Rasa cintamu akan indah saat senja terjaga. Senja tak pernah menjemput mentari. Mentari selalu pergi ke ujung sore. Di sana keutuhan cinta akan dibuktikan.

Mentari dan senja masuk lebih dalam mengarungi samudra hidup berawal dari kesunyian malam. Ada malam, sang spasi cinta, yang tak bersinar. Bulan bersinar dalam kekaguman akan rasa antara kau dan dia. Dia hanya memberi terang dari jauh. Tidak terlalu terang namun bisa membantu kalian berjalan dalam kegelapan.

Berjalanlah hingga pagi. Saat pagi terbit kalian bisa memutuskan, bersama atau selamanya. Bersama melangkah maju melewati pagi, menembusi siang dan mengarungi senja. Selamanya berjalan dalam rasa yang tak mungkin lagi bersama. 

Kuharap kalian bersama selamanya. Mengarungi pagi, siang, senja dan malam. Mengitari kota kehidupan dalam langkah yang sama. Memasuki altar kehidupan dalam doa dan cinta.

#teruntukmu: WETA  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun