Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Waelengga, Jalan Menuju Mimpi

17 Mei 2019   12:44 Diperbarui: 18 Mei 2019   08:22 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika teman-teman bertanya seputar kenangan masa kecil, aku hanya bisa tersenyum malu. Aku berusaha menunduk dan mencoba mencari topik pembicaraan lain. Namun, mereka terus memaksaku untuk mengisahkannya. 

Jujur saja aku sangat malu ketika, sebelumnya, mendengarkan kisah masa kecil mereka. Jorgi, seorang putra Yogyakarta, sangat bangga menceritakan masa kecilnya. Ketika berumur lima tahun, dia sudah mengikuti banyak kursus seperti bahasa Inggris, menulis, membaca, dan lain sebagainya. 

Alfin, seorang keturunan Cina-Jakarta, mengisahkan tentang pengalaman mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah, Monas, Kota Tua, Stadion Gelora Bung Karno, naik pesawat terbang, dan lain sebagainya. 

Masih banyak sahabat yang mengisahkan pengalaman masa kecilnya. Kisah mereka menjadi pukulan terbesar bagiku untuk menceritakan masa kecil di Waelengga. 

Sebelum mengisahkan masa kecil, aku menuju kamar kecil. Di sana aku menenangkan getaran jantung yang meruntuhkan kepercayaan diriku. Aku membasuh wajah. Di depan cermin aku menatap wajah "Waelengga" ini. Kulit hitam, rambut keriting, muka sangar menjadi penyemangatku. 

Sebenarnya ada keinginan untuk mengarang cerita agar bisa mengimbangi kisah mereka. Namun, aku tak bisa menyangkal siapa aku sebenarnya. Tak ada yang bisa mencabut darah "Waelengga" di dalam diri ini. Aku kembali dan memulai kisah masa kecil di hadapan mereka. 

Kisahku tentang Waelengga

Aku lahir di Waelengga. Lingkungan tempat tinggalku masih tergolong kampung. Banyak jalan yang belum diaspal. Fasilitas masyarakat belum memadai. Rumah sakit dan sekolah masih tertinggal dengan tempat asal teman-teman semua. 

Bisa dikatakan bahwa tidak ada yang bisa dibanggakan dari Waeleengga. Sawah hanya bisa diairi pada musim hujan. Lapangan kerja hanya tersedia saat tanam padi, membersihkan rumput serta memanennya. Selain itu, banyak yang bekerja sebagai nelayan. Namun, penghasilan yang diperoleh, entah dari petani maupun nelayan, hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Ada binatang peliharaan seperti sapi, kuda, kerbau, kambing dan babi. Semua binatang ini hanya memenuhi kebutuhan hidup yang lebih formal, seperti urusan adat, kematian, pesta sekolah, pendidikan, pembangunan rumah dan lain sebagainya. Aku bersyukur bahwa dengan beternak, banyak teman-teman yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. 

Kehidupan masyarakat di Waelengga sangat harmonis. Ada tiga agama di Waelengga, yakni Katolik, Islam dan Protestan. Aku bersyukur masyarakat selalu menjaga keharmonisan hidup bersama. Tidak pernah ada persoalan yang bisa memecahkan persatuan masyarakat Waelengga. Jika kalian ingin belajar tentang keharmonisan hidup bersama, silahkan datang ke tempat asalku, Waelengga. 

Anak-anak Waewole sedang menikmati indahnya alam Waelengga (Dok. Stefan Bunga)
Anak-anak Waewole sedang menikmati indahnya alam Waelengga (Dok. Stefan Bunga)

Surga Waelengga

Saat mengisahkan tentang Waelengga, aku melihat ekspresi beragam dari teman-teman. Aku tak bisa menebak apa yang mereka rasakan. Semuanya mendengar dengan serius. Lalu, ada yang bertanya tentang bagaimana kehidupan masa kecilku. Mereka sepertinya ingin mengetahui kisah masa kecilku. Di sinilah aku mulai menunjukkan Surga yang ada di Waelengga tercinta. 

Setelah mendengar kisah kalian, aku merasa bangga sebagai anak Waelengga. Meski tidak pernah mengikuti kursus dan menikmati pemandangan indah, aku sebenarnya memiliki segalanya. Aku melihat hidup kalian berada dalam rutinitas yang sudah diatur dengan baik. Aku hidup dalam kebebasan yang sesungguhnya. 

Saat bangun pagi, aku membantu Mama menanak nasi atau menggoreng nasi sisa malam hari. Setelah makan pagi aku berangkat ke sekolah. Aku tidak diantar menggunakan motor dan kendaraan lain. Kedua kaki inilah yang selalu berjalan bersamaku. 

Di sekolah aku bebas bermain dan belajar. Namun, pulang sekolah adalah saat yang paling indah. Kami selalu menyempatkan waktu untuk memetik buah asam, kesambi, mangga, dan kelapa. Kalian bisa membayangkan betapa ramai dan menarik pengalaman ini. Akibat yang tidak bisa dihindari adalah kotornya seragam sekolah kami. 

Saat kembali ke rumah, baju seragam yang kotor itu dimasukkan ke dalam tas. Hal ini agar tidak dilihat oleh Mama. Jika Mama mengetahuinya, kami akan masuk dalam dunia yang disebut "dunia pencubitan dan pemukulan". Coba bayangkan betapa emosinya Mama jika baju yang baru dicuci kemarin untuk dipakai sampai besok, seketika kotor dan noda. 

Ketika selesai makan siang, aku mengambil hati Mama dengan melakukan hal baik ini. Biar dikatakan anak yang rajin, aku mencuci semua peralatan makan. Hal ini agar Mama tidak menyuruhku untuk tidur siang. Bagi kami anak Waelengga, pada masa kecil khususnya, tidur siang adalah penderitaan yang paling besar. Untuk itu, kami selalu menghindar dan cepat meninggalkan rumah setelah membereskan peralatan makan. 

Kalian tahu, siang hari menjadi momen rekreasi bagi kami. Tempat yang akan kami kunjungi di antaranya bukit Toloroja, hutan Alopau, hutan Tenge, hutan Maghileko, hutan Waewole, hutan Sambikoe, hutan Watu Nggene, hutan Lekolembo, sungai Waelengga, sungai Waewole, sungai Waekoe dan sungai Wae Mokel. 

Dengan berbekal katapel (anak Waelengga bilang kartupel) dan korek api, kami bisa merasakan kebahagiaan di surga Waelengga. Setelah menembak burung dan menjelajahi hutan, tempat yang akan kami kunjungi adalah sungai. Namun, sebelum ke sungai, kami menuju hutan kelapa. Bagi kami, kelapa curian dan kelapa milik pribadi semuanya tiada berbeda. Bagi kami pohon kelapa di hutan adalah milik bersama. Kami kerap kali dikejar oleh pemilik kebun kepala. Bersyukur belum pernah ada yang tertangkap. Jika tertangkap, dunia cubit dan pemukulan akan kami alami. 

Pada sore hari kami menikmati segarnya air sungai. Sungguh, bahwa aku belum pernah menemukan sungai di sini, yang seindah di tempat asalku. Kalian tahu, sukacita mandi bersama cewe dan cowo saat masih kecil, sangat mengasyikan. Kami bisa mandi berjam-jam. 

Saat hari mulai gelap, kami kembali ke rumah. Nah, sebelum pulang kami mencari cara agar tidak dimarahi Mama. Satu cara yang manjur, yaitu mencari kayu bakar. Saat gelap kayu bakar yang paling mudah diperoleh adalah kayu pagar milik orang. Saat itu operasi besar-besaran terjadi. Kebun yang sebelumnya memiliki pagar kini telanjang tak berpagar. 

Ketika tiba di rumah aku sengaja membanting kayu bakar sekuat tenaga. Hal ini agar didengar oleh Mama. Saat mendengar bunyi kayu, Mama langsung menyambut dengan senyum indah. Kebahagiaan itu disempurnakan dengan uang Rp. 2.000,00, dari Mama. Ya, uang itu biasanya kugunakan untuk membeli susu dancow seharga Rp. 1.500,00. Dan, uang Rp. 500,00, kupakai untuk membeli wafer. 

Saat malam tiba, aku biasanya menyelesaikan tugas yang diberikan oleh ibu dan bapa guru. Setelah itu, aku langsung menikmati mimpi yang indah. 

Saudara semua, demikian kisah masa kecilku di kampung halaman. Kalian boleh berbangga dengan pengalaman kalian. Namun, pengalamanku adalah jalan menuju mimpi yang indah. Alam sudah berjalan bersamaku sejak kecil. Kini saatnya untuk membalas budi baik alam dan semua orang yang pernah hadir dalam masa kecilku. 

Setelah mengisahkan pengalaman masa kecil, semua teman-teman menepuk bahuku. Mereka mengatakan bahwa, "Masa kecilmu sungguh luar biasa. Berbanggalah pada tempat di mana engkau berpijak. Dari sanalah engkau bisa bangkit." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun