Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cincin Tunangan Itu...

10 Februari 2019   20:30 Diperbarui: 10 Februari 2019   21:05 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia semakin berubah. Keceriaan yang pernah kulihat di hidupnya perlahan mulai redup. Sikap terbuka dan selalu ingin tampil semangat telah hilang meninggalkan dirinya. Aku mencoba merenung, melihat sepenggal perjalanan yang telah kami lalui bersama. Aku tak pernah meminta lebih darinya. Mencintai dengan sepenuh hati adalah kewajibanku. Sekali lagi aku tak pernah menginginkan sesuatu yang bisa merusak kebahagiaannya.

Pikiranku tentang dirinya mengalahkan dinginnya kota Jogja. Sinar cahaya lampu pijar mengalahkan rembulan dan bintang-bintang malam. Bunyi bedug masjid di sekitar rumah terus berkumandang. Aku masih saja tak bisa berpaling dari situasi ini. Kusedot segelas kopi dan kuhabiskan sepotong pisang goreng yang tersisah sore ini.

Masih dalam balutan rasa yang sama aku tak mampu berpaling. Mengapa dia berubah? Adakah kata dan perbuatan yang sungguh menyentuh hatinya? Aku mencoba mengoreksi diri. Tidak. Aku tak pernah sedikit pun menyakiti hatinya. Aku tulus mencintainya dan tak mungkin bagiku membuatnya bersedih.

Aku mencoba merekah kisah pertemuanku dengannya tadi siang. Satu kebiasaan yang kami lakukan ketika bertemu adalah memperlihatkan garis tangan masing-masing. Ada satu hal yang kami yakini bahwa ketika garis tangan kami sama persis saat itulah Tuhan ingin kami bersatu.

Namun, aku melihat bahwa dia menampakkan sesuatu yang lain. Dia tidak memberikan tangannya. Secuil senyuman bercampur rasa sedih menghiasi wajahnya. Aku sungguh merasa bersalah. Tanggal empat belas bulan ini merupakan hari istimewa bagi kami. Saat itu masa pacaran kami genap berusia lima tahun. Aku ingin memberi kado yang selama ini aku perjuangkan untuk memperolehnya. Aku rela bekerja siang dan malam hanya untuk mendapatkannya. Dia pasti merasa bahagia dan akan menerimanya.

Aku putuskan agar tidak menghubunginya malam ini. Dua hari lagi kami akan merayakan momen terindah di hidup kami. Aku ingin memberi kejutan baginya. Aku yakin dia pasti bahagia dengan semua perjuangan kisah cintaku selama ini.

Hari yang dinantikan telah tiba. Bukit tempat aku menyatakan cinta padanya dahulu sungguh indah malam ini. Aku mengenakan pakaian terindah yang diberikan oleh ibuku untuk memenuhi pesannya sebelum dia kembali kepada Tuhan, yakni mengenakannya di saat yang paling indah dalam hidupku. Aku yakin ibu pasti tersenyum di surga malam ini. Dia pasti meneteskan air mata kebahagiaan melihat anaknya berbahagia. "Ibu, kini semua harapanmu akan kupenuhi. Aku bangga bisa mengenakan pakaian indah pemberianmu".

Di balik cahaya lampion yang bersinar aku melihat gadis pujaanku datang. Hatiku bahagia bercampur gemetar. Kulihat malam ini dia begitu cantik. Senyum indahnya menyempurnakan hidupku.

Sejenak kutatap matanya. Aku mencoba meraih tangannya namun dia menahanku. Aku mencoba meraihnya kembali namun dia tetap melarangku. Seketika itu juga air mata membasahi pipinya. Dia menangis dan terus menangis. Tampak bahwa air matalah yang membuka rahasia yang disembunyikannya selama ini. Tangannya mampu mengatakan yang sejujurnya ketika hati tak sanggup tuk berkata. 

Kulihat sebuah cincin menghiasi jari manisnya. Apa maksud semuanya ini? Adakah satu jari manis yang bisa engkau berikan bagi untuk menyimpan hadiah terindah yang akan kuberikan kepadamu malam ini? Adakah satu hatimu yang bisa menyimpan cintaku untuk selamanya?

Ibu, aku gagal membahagiakanmu malam ini. Jangan kau tangisi semuanya ini. Aku gagal memberikan cincin indah pemberianmu kepada dia yang sangat kucintai. Ibu, aku mampu mengungkapkan cinta namun hanya sebatas kata-kata. Aku sanggup mencintainya namun tak mampu memilikinya. Aku sanggup membuatnya tersenyum namun hanya untuk sementara. Aku sanggup menjaga hatinya namun tak mampu berjalan bersamanya tuk selamanya.

Ibu, cincin indahmu akan kujaga selamanya dalam hidupku.

Sekian!

Salam, PEACE WAELENGGA

Yogyakarta, 10 Februari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun