Mohon tunggu...
atem kornadi
atem kornadi Mohon Tunggu... -

saya seorang mahasiswa di universitas tanjungpura Pontianak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Habitat Kehidupan

30 September 2015   13:30 Diperbarui: 30 September 2015   14:49 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kata habitat mungkin kita langsung berpikir mengenai hewan atau tumbuhan, tapi saya lebih menggambarkan kehidupan dua lingkungan sosial yang berbeda yang saya alami saat ini. Hanya sekdar argumen biasa yang di dasarkan pada pengalaman observasi dikehidupan nyata.

Mata saya baru terbuka saat ini ketika melihat lingkungan sosial dan kehidupan diperkotaan yang ternyata memperlihatkan dinamika dan fenomena yang luar biasa. Memang sebelumnya begitu banyak artikel maupun berita yang menggambarkan kehidupan diperkotaan tetapi ketika saya sudah berada dilingkungan perkotaan dan merasakan langsung bagaiman pola kehidupan mereka, saya jadi teringat kehidupan dikampung halaman.

Perlu diingat bahwa dalam pandangan saya ini, saya tidak menjustifikasi semua kehidupan diperkotaan, saya hanya sedikit memaparkan apa yang saya lihat sekilas bukan sebagian, tapi jauh lebih kecil mungkin hanya se per sekian yang sangat kecil kalau ingin di konversikan. Sudah hampir 5 bulan saya di kota Bandung, salah satu kota metropolitan yang ada di Indonesia. beragam fenomena kehidupan sosial yang saya lihat di kota ini. Saya memang belum menelusuri seluruhnya sudut-sudut kota bandung, akan tetapi dari sekilas apa yang saya lihat baru saya sadar bahwa ternyata kehidupan kota memang begini adanya, bukan lagi apa yang saya dengar lewar radio, bukan lagi apa yang saya tonton lewat TV atau apa yang saya baca di koran maupun artikel di Internet.

Pemulung, pengemis, pengamen, anak jalanan, orang berkebutuhan khusus, orang gangguan mental memang sudah lumrah adanya di perkotaan, dan saya akan mengenyampingkan kehidupan seperti itu dalam ulasan ini, karena memang sudah terlalu sering dibicarakan dan penanganannya masih belum mencapai pada titik yang membahagiakan. Sebaliknya saya akan mengulas sedikit kehidupan masyarakat yang tergolong beruntung, dan hal ini yang ingin saya bandingkan dengan kehidupan perkampungan saya.

Dalam kondisi saat ini saya mungkin termasuk orang yang beruntung, meskipun berasal dari desa yang nun jauh disana, tetapi setidaknya saya masih bisa menikmati kehidupan yang pas-pasan bukan serba kekurangan, dan saya mengkategorikan kehidupan pas-pas an adalah sebuah keberuntungan. Kehidupan diperkotaan bagaikan pedang bermata dua, jika salah langkah, salah gerak, bisa melukai diri sendiri. Saya melihat sebuah kehidupan dikota Bandung cukup membuka mata saya bahwa ternyata sangat jelas sekali perbedaan kehidupan di kota dengan kehidupan kami yang dekat dengan perbatasan, saya semakin menyadari begitu tingginya anak tangga yang harus dinaiki untuk sampai pada tingkat kehidupan perkotaan. orang-orang dengan mobil mewah berlalu lalang, motor-motor besar juga tidak kalah banyaknya, dari hotel-hotel keluar orang-orang berpakaian glamour, berpenampilan menarik dengan kulit kinclong.

Di sudut-sudut malam, berjalan om om perut buncit dengan wanita berpakaian mini berbody seksi melangkah menghabiskan malam. remaja-remaja yang secara kebetulan terlahir dari keluarga kaya nongkrong di kafe-kafe mewah, perempuan-perempuan modis berbelanja di Mal ternama, waduh ini menjadi fenomena yang sangat menarik bagi saya untuk membandingkan kehidupan di pedesaan di pulau Kalimantan. Bukan mempermasalahkan kehidupan pribadi orang lain atau membandingkan tingkat kebahagian kehidupan diperkotaan, bukan itu tujuannya, mungkin dipedesaan jauh lebih bahagia, bisa saja akan tetapi jauh lebih penting dari itu.

Saya melihat begitu timpang sekali kehidupan masyarakat atau gaya hidup masyarakat yang saya lihat, dan tentu itu tidak terlepas dari apa yang mendukung di lingkungan atau habitat ia berada. Saya menjadi berspekulasi bahwa pedesaan menjadi bongkahan emas yang memberi kehidupan perkotaan seperti ini, tidak tahu mengapa tiba-tiba saya berpikir seperti ini. Bercermin dari potensi yang dimiliki di daerah saya (pulau Kalimantan) dan mewakili daerah-daerah lainnya di Indonesia yang sangat kaya, menurut saya sangat berperan menciptakan kehidupan di kota-kota besar.

Saya merasakan kehidupan di perbatasan, bagaimana susahnya, infrastruktur tak pernah mendukung, fasilitas apalagi tak tahu entah dimana, berbanding terbalik dengan kehidupan perkotaan, semua harus terpenuhi, fasilitas dan imfrastruktur disana harus dipenuhi, dan harus menjadi prioritas “karena disana Perkotaan” dan ditempat saya perdesaan lebih jelasnya perbatasan nanti dulu. Banyak mungkin orang yang akan menyangkal atau mewajarkan kehidupan seperti ini, yang sebenarnya itu tidak wajar. Karena anggapan kewajaran itulah yang membuat semuanya berjalan begitu adanya. Daerah-daerah menjadi penyumbang upeti untuk perkotaan-perkotaan yang sangat dinamis itu, itu yang dianggap wajar, karena daerah kami harus menyetor pajaknya untuk Negara tiap tahunnya karena kita satu-kesatuan Negara Republik Indonesia.

Negara kemudian akan membagi hasil pajak untuk pembangunan yang hanya tampak megah pada pembangunan-pembangunan di perkotaan, itu juga wajar karena ia perkotaan harus didahulukan, Daerah yang nun jauh nanti saja. Daerah kami yang nasionalisme Rakyatnya selalu dipertanyakan itu juga wajar karena kami terletak diperbatasan, “akan tidak wajar apabila kami berbelanja di negara tetangga yang aksesnya lebih mudah dibanding negara sendiri, jalannya lebih mulus dibanding negara kami sendiri masyarakat tetangga sebelah lebih menghargai produk yang kami buat itu tidak wajar, jika kami masih tetap bersikukuh menjalani transaksi dengan tetangga sebelah maka Nasionalisme kami terancam, itu yang dianggap wajar. Begitu banyak kewajaran-kewajaran yang dibentuk dalam pemikiran-pemikiran orang-orang diatas sana, yang serasa buah simalakama bagi kami.

Dua Habitat kehidupan inilah yang tergambar dalam benakku ketika melihat kehidupan perkotaan dan perbatasan di daerah saya, diperkotaan seolah-olah semua terpenuhi sedangkan di perbatasan semua terbebani, mungkin memang sudah basi mau dibahas tetapi fenomena sosial ini tidak ada matinya bagiku sebagai seorang anak daerah yang asli berasal dari daerah perbatasan. Sampai kapan ketimpangan ini akan berakhir, ketika di perkotaan saya melihat orang-orang kaya keluar dari hotel berbintang, ketika saya melihat bos-bos pergi ke restoran mewah dan kafe-kafe megah untuk menghabiskan uangnya, ketika baju-baju mereka sangat modis, perhiasan-perhiasan mereka bergelimpangan dianggota tubuhnya. Tapi disudut sana kami berjuang mengarungi sungai yang terjal sebagai akses yang paling strategis untuk dilalui, harus melewati hutan hanya untuk menjual hasil tani kami, belum lagi larangan-larangan untuk membeli produk-produk negara tetangga sebelah yang di cap ilegal, sedang kami tidak bisa mendapatkan produk legal dari negara sendiri, hal ini membuat saya iri dengan para jutawan yang berkeliling dunia dan membeli barang-barang mewah dari luar negeri, dan itu merupakan kebanggaan yang harus dipamerkan oleh mereka.

Lagi-lagi hal itu dianggap wajar karena mereka orang kaya punya uang dan mereka membelinya secara legal. Sekali lagi bukan masalah orang kaya menghamburkan uang, bukan masalah mereka berpergian keluar negeri, bukan juga masalah mereka membeli barang-barang mahal di luar negeri, bukan itu poin yang mau diungkap. Tapi hanya keinginan untuk diperhatikan dan dimaklumi saja. Diperhatikan keadaan kami diperbatasan yang serba kekurangan, diperhatikan kesehatan kami, diperhatikan pendidikan kami, diperhatikan imfrastruktur dan fasilitas di daerah kami dan perhatikan kami sebagai bagian dari negara Indonesia. Maklumi kami ketika kami berbelanja dan menjual produk-produk kami ke negara tetangga ketika Negara sendiri tidak bisa menjamin kemudahan akses bagi kami untuk bertransaksi ke Negara sendiri. Maklumi kami ketika kami lebih mengenal Ringgit dari pada Rupiah karena susahnya mendapatkan Rupiah di Negara Sendiri.

Tapi jangan ragukan rasa Nasionalisme kami hanya gara-gara kami lebih dekat dengan Negara Tetangga, karena itu akan sangat melukai kami. Saya rasa apa yang diutarakan sangat mudah dimengerti dan apa yang harus dilakukan saya pikir sudah cukup jelas. Bukan hanya regulasi dan perencanaan saja tapi implementasi yang diperlukan. Semua orang bisa bicara, semua orang bisa menuangkan ide dan pikiran serta rencana-rencana super mereka, tapi jangan hanya sekedar bualan belaka. Sedikit orang yang bisa bertindak dengan aksi yang nyata. Pembuktian itu yang penting sudah berani, perlu waktu, ya kami akan sangat mengerti semua perlu waktu tapi sampai kapan waktu itu memihak kepada kami rakyat-rakyat yang katanya bagian dari Indonesia.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun