Kemarin di salah satu grup wasap yang saya ikuti, sempat ada bahasan tentang sunat perempuan. Ada teman yang memutuskan untuk menyunat bayinya, ada juga yang tidak.
Saya?
Saya tidak mengantarkan bayi saya untuk disunat. Alasannya karena saya tidak merasa ada yang salah dengan kelamin anak saya sehingga harus disunat.
Teman yang memutuskan menyunat bayinya, memberi banyak sekali referensi untuk kami baca sama-sama. Referensi-referensi itu kurang lebih bilang sunat membuat istri tampak lebih cantik dan  terhormat di sisi suaminya. Lalu, sunat bisa juga "bantu mengendalikan libido". Mengendalikan di sini maksudnya, membuat libido "sedikit turun" untuk yang "hyper", dan membuat libido "naik" untuk yang "susah naik".
Jadi, untuk bayi yang dikhawatirkan libidonya tinggi, sebagian klitorisnya dibuang. Sedang untuk bayi yang lain, hanya diangkat satu lapisan kulit dari klitorisnya. Setelah lapisan klitoris ini diangkat, diharapkan saat menikah nanti si istri bisa merasakan kenikmatan saat berhubungan dengan suaminya.
Terus saya jadi mikir. Ini tenaga medis yang bantu menyunat bayi pake ukuran apa waktu memutuskan, "Ohh, bayi A ini nanti hypersex", "Ohh, bayi B ini nanti susah orgasme". Â Tidak ada ukuran yang jelas soal sunat-sunatan ini. Mungkin, mungkin saja lho, mereka pake ukuran kira-kira.
Selesai soal ukuran, sekarang saya mau bahas dampak sunat terhadap libido.
Di grup wasap yang saya ikuti itu, pengalamannya berbeda-beda. Ada yang disunat, dan ada yang tidak disunat. Teman yang disunat bilang, sepertinya sunat tak berpengaruh apa-apa untuk dia, buktinya saat ini dia bisa menikmati multiple orgasm. Untuk yang tak disunat, juga tidak merasa apa-apa, baik-baik saja.
Kalau disunat dan ga disunat tidak ada pengaruhnya, jadi sunat buat apa? Sampai di sini saya berpendapat, hubungan sunat dan libido hanya MITOS dan DONGENG belaka.
Eh, ini saya bicara soal sunat yang diizinkan Kementerian Kesehatan lewat peraturan ini, ya. Kalau sunat yang jelas-jelas dilarang seperti budaya potong habis sebagian/seluruh klitoris atau menjahit sebagian vagina itu sudah pasti punya pengaruh negatif dan dilarang oleh WHO. WHO menamakan praktek sunat sebagai female genital mutilation (FGM). Hihh, seram!
Dokter Purnamawati, pengasuh Milis Sehat bilang, khitan pada perempuan lebih bersifat tradisi. Artikel di Parents Indonesia bilang sunat perempuan tidak dikenal di dunia medis. Dalam artikel di Tempo, Organisasi perempuan di bawah Nahdlatul Ulama, Fatayat NU, menyatakan sunat perempuan tidak diperintahkan di dalam Al-Quran ataupun hadist nabi.