Mohon tunggu...
Atasur Atasur
Atasur Atasur Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dendang Geliat Orang Rantai

25 Februari 2019   07:36 Diperbarui: 25 Februari 2019   07:45 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Museum Goedang Ransoem menyimpan alat-alat masak superbesar. Mulai dari tungku pembakaran, kuali, wajan, periuk nasi, hingga rumah jagal hewan. Selain itu, terpampang foto-foto pekerja tambang, perlengkapan tambang, seragam mandor tambang, pakaian tukang masak dan lainnya. Pun sampel batu bara.

Melangkah di pematang jalan Sawalunto. Malam itu, gedung sisa kolonial yang biasa tempias oleh remang tampak lebih cerah; Pusat Kebudayaan Sawahlunto, Kantor Bukit Asam, Hotel Ombilin, hingga halaman Gereja St. Barbara. Di Lapangan Segi Tiga tengah berlangsung pesta sebagai rangkaian ajang balap sepeda Tour de Singkarak ke sekian. Hadirin larut dalam keriaan indang minang.

Indang Minang disebut juga KIM (Kesenian Indang Minang). Ini adalah kesenian gabungan nyanyian lagu tradisional diiringi organ tunggal dan permainan kuis berhadiah. KIM dipandu seorang tukang dendang. Jika ingin ikut permainan, penonton harus memiliki kupon yang bertuliskan angka acak dari satu hingga 99.

Tugas seorang tukang dendang adalah memandu permainan dengan bernyanyi dan berpantun. Secara tiba-tiba, ia juga akan mencabut lot dan menyelipkan angka pada lirik lagu yang dibawakannya. Dengan demikian, sepanjang permainan penonton peserta harus benar-benar menyaringkan telinga.

Kian lama permainan, tempo lagu yang dinyanyikan tukang dendang kian cepat. Makin seru. Syair yang dibawakan pun dibuat semakin sulit ditangkap. Setiap pemandu mulai berdendang, jantung peserta berdetak kencang. Tentu karena masih berharap dapat hadiahnya.

Makin malam tawa dan teriakan kian bersahutan. Menggema. Semua larut dalam penantian. Beberapa sumringah. Tapi ada juga rona kecewa saat angka-angka tak terbilang kian banyak disebutkan: tigo tujuah, tigo tujuah. Anam duo. 

Begitulah permainan tradisi menyihir kami. Hingga tak ada yang peduli saat dari lorong pepat Lubang Mbah Suro orang rantai menggeliat. Bangkit. Berjalan terhuyung. Menari. Mencoba mendekati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun