Mohon tunggu...
Atanshoo
Atanshoo Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Hobi membaca dan sesekali menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Mas Penyair dan Bidadari Komplek - Edisi Ramadan Episode 1

8 Maret 2024   19:20 Diperbarui: 10 Maret 2024   18:47 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mas Penyair dan Bidadari Komplek

(Atanshoo)

(Mas-mas penyair duduk termenung di pinggir teras masjid, menatap langit yang penuh bintang sambil sesekali menulis di buku catatannya.)

Diyana: (tersenyum ramah dengan mukena yang ia pakai ketika sholat) "Malam, Mas Penyair. Sedang merangkai kata-kata indah lagi ya?"
Mas Penyair: (agak terkejut, lalu membalas senyum Diyana) "Malam, Mbak Bidadari. Ah, iya. Sedang mencoba menangkap sejumput keindahan malam ini."

Diyana: (duduk di sebelah Mas Penyair dengan jarak satu meter) "Indah sekali ya, langitnya. Penuh bintang, seperti ditaburi permata."
Mas Penyair: (mengangguk) "Memang. Tapi keindahan sejati terkadang tak bisa dilihat hanya dengan mata. Ia perlu dirasakan dengan hati."

Baca juga: Bidadari Cirebon

Diyana: (menatap Mas Penyair) "Seperti apa, Mas Penyair? Keindahan yang dirasakan dengan hati?"
Mas Penyair: (tersenyum) "Seperti gema takbir yang menggetarkan jiwa saat berbuka puasa dan Iftar bersama, itu sangat indah mbak."

Diyana: (mengangguk pelan sambil tersenyum tipis) "Atau lantunan ayat suci yang menenangkan kalbu di malam tarawih. Syahdu sekali."
Mas Penyair: (menatap Diyana) "Dan lihatlah, Mbak Bidadari. Senyumanmu di bawah cahaya masjid itu, indahnya tak terkira."

Diyana: (tertawa kecil) "Ah, Mas Penyair bisa saja. Tapi bukankah itu hanya pujian biasa?"
Mas Penyair: (menggeleng) "Tidak, Mbak Diyana. Senyuman yang ikhlas dan terpancar dari hati yang suci, itu adalah puisi terindah yang pernah saya lihat."
Diyana: (tersipu dan ingin mencubit namun tidak bisa) "Mas Penyair..."

Diyana: "Aku pulang dulu mas, kalau disini lama-lama aku bisa jadi lilin yang terus meleleh oleh rayuanmu"
Mas Penyair: "hehehe, hati-hati ya pulangnya mbak bidadari. Jangan terlalu sering senyum, takutnya bulan dan bintang kalah indah denganmu."
Diyana: "Tuhkan.... masih sempet-sempetnya ngerayu loh.."

(Diyana berjalan meninggalkan Mas Penyair yang masih terdiam sambil menatap langit, penuh dengan bayangan dan ilham untuk puisi berikutnya.)

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Mas Penyair itu bernama Ata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun