Mohon tunggu...
Atanshoo
Atanshoo Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Hobi membaca dan sesekali menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perut Lebih Tajam dari Pisau: Hanya Karena Bansos

6 Februari 2024   17:44 Diperbarui: 7 Februari 2024   00:47 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bansos: Perlut lebih tajam dari pisau- Caelen Cockrum on unsplash

Dengan wajah yang penuh kecewa, Bu Yani merenungkan keputusan Pak RT yang menyebabkan dirinya dan keluarganya terpinggirkan. Ia merasa tidak dihargai dan tidak diperhatikan, meskipun telah lama menjadi bagian dari desa ini. Baginya, bansos bukan hanya sekadar bantuan, tetapi juga tanda kepedulian dan keadilan bagi setiap warga.

Ketidakadilan yang terungkap membuat Bu Yani meradang. Dalam pertemuan seluruh warga, ia tanpa ragu menyuarakan kekecewaan dan ketidakpuasannya. Suara gemuruh protesnya memenuhi ruang pertemuan, menciptakan atmosfer yang terbebani oleh rasa ketidaksetujuan. Di tengah-tengah kerumunan, Bu Yani dengan tegas menyampaikan bahwa dirinya dan keluarganya adalah satu-satunya yang tidak mendapatkan bagian dari bansos tersebut, sementara warga baru di RT tersebut justru mendapatkan jatah. "Jangan macam-macam kalau soal perut Pak!"Kata-kata yang dilontarkan Bu Yani ke Pak RT.

Kemarahan Bu Yani meletus seperti letusan gunung berapi yang lama terpendam. Dalam kata-katanya yang tajam, ia menggugat keadilan dan integritas Pak RT. Ia merasa tidak dihargai sebagai warga yang telah lama berkontribusi pada kehidupan desa. Warganya yang merasakan ketidakadilan pun mulai memberikan dukungan kepada Bu Yani. Kehadirannya yang terus terang dan tegas menciptakan gelombang perlawanan, merubah suasana yang semula hening menjadi panggung konfrontasi yang tak terelakkan. Desa Wono, yang dulu dikenal akan kebersamaan, kini terguncang oleh bansos yang tidak tepat sasaran.

Sebagai langkah protes dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang Bu Yani rasakan, ia mengambil keputusan sulit. Dengan hati berat, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan PKK desa. Langkah ini bukan hanya sebagai bentuk protes, tetapi juga sebagai simbol bahwa keputusan yang tidak adil tidak bisa dibiarkan tanpa konsekuensi.

Bu Yani, terluka dan penuh dendam, memilih membisu. Dalam diamnya, ia menaruh dendam pada Pak RT, kehilangan kepercayaan dan keyakinan pada pemimpinnya. Desa yang dulu hangat, kini diwarnai oleh bayang-bayang ketidaksetiaan. Bu Yani, dengan hatinya yang terluka, memilih untuk menjaga jarak, membawa beban kecewa sebagai beban dalam setiap langkahnya di desa yang pernah ia panggil rumah. Di balik senyum dan kebersamaan, tersimpan rasa kecewa yang dalam, merajut pertemanan yang perlahan mulai merenggang. Desa Wono, yang dulu dikenal sebagai tempat penuh kasih dan kebersamaan, kini menemui tantangan besar untuk menyembuhkan luka-luka yang tercipta akibat ketidakadilan tersebut.

Tamat...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun