Mohon tunggu...
Atanshoo
Atanshoo Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Hobi membaca dan sesekali menulis.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Padahal Dulu Kita Pernah Sepakat Untuk se-Akad

17 Januari 2024   23:11 Diperbarui: 17 Januari 2024   23:16 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal Dulu Kita Pernah Sepakat untuk Se-Akad

(Atanshoo)


Dulu, kita berdiri di bawah langit yang sama, berbagi mimpi dan janji yang tampaknya akan bertahan selamanya. Kita pernah sepakat untuk se-akad, sebuah janji suci yang kita ukir dalam doa dan harapan. Janji itu bagaikan benang merah yang mengikat dua hati dalam satu visi tentang masa depan bersama.

Kita membangun istana harapan dari kata-kata, mengukir rencana di atas kanvas impian. Kita berbicara tentang rumah kecil dengan taman yang asri, suara tawa anak-anak yang akan mengisi ruang-ruangnya dengan keceriaan. Kita membayangkan pagi-pagi yang diawali dengan senyum, dan malam yang diakhiri dengan bisikan sayang sebelum terlelap.

Namun, seiring waktu, mimpi-mimpi itu mulai pudar, seperti bintang yang perlahan kehilangan cahayanya. Realitas kehidupan, dengan segala tantangan dan ujian, mulai menarik kita ke arah yang berbeda. Perbedaan yang dulunya kita anggap sebagai pelengkap, perlahan berubah menjadi jurang yang memisahkan.

Kita mulai tersesat dalam labirin kesalahpahaman, terperangkap dalam jerat ego yang tak kunjung menemukan titik temu. Kata-kata yang dulu lembut dan penuh pengertian, berubah menjadi senjata yang tidak sengaja melukai. Mimpi yang kita rajut bersama mulai terurai, tak lagi seindah yang dulu kita bayangkan.

Padahal, dulu kita pernah sepakat untuk se-akad. Kita berjanji untuk bersama mengarungi samudra kehidupan, saling menopang di kala lemah, saling mengisi di kala kosong. Namun, kini semua itu hanya menjadi kenangan, sepotong masa lalu yang tersimpan dalam lipatan memori.

Sekarang, kita berdiri di persimpangan yang berbeda, melangkah pada jalan yang tidak lagi berpotongan. Meski begitu, dalam diam, aku masih menghargai setiap kenangan dan pelajaran yang telah kita bagi. Setiap tawa dan air mata, setiap suka dan duka, telah mengajarkanku arti cinta, kehilangan, dan penerimaan.

Dalam setiap doaku, aku masih menyimpan harapan agar kau menemukan kebahagiaan, meski itu berarti tanpa aku di sisimu. Karena cinta sejati, pada akhirnya, adalah melepaskan seseorang untuk menemukan kebahagiaan mereka, meski itu berarti hatimu sendiri harus berdarah.

Padahal dulu kita pernah sepakat untuk se-akad, namun mungkin, untuk saat ini, akad itu hanya akan menjadi cerita yang kita simpan sebagai bagian dari perjalanan hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun