Saya jadi teringat beberapa bulan yang lalu, saat saya dan teman saya yang bernama Sandy ditugaskan keluar daerah, lebih tepatnya ke kementerian keuangan dan kementerian dalam negeri di Jakarta. Berangkat dari bandara supadio di Pontianak sekitar jam 2 siang, kami tiba di Jakarta dan sampai di hotel yang telah di pesan sekitar jam 6 sore, atau sebelum magrib. Kami memang sering ke kota Jakarta, tetapi ini pertama kalinya kami menginap di sekitar daerah yang saya sebut daerah A. Setelah mandi dan sholat, kami pun keluar untuk mencari makan malam di sekitar hotel.
Setelah keluar dari hotel, kami melihat kiri dan kanan dan memang di sekitar hotel banyak warung makan menjual beraneka ragam makanan. Di sepanjang jalan berjejer warung makan menjual menu makanan yang hampir sama, seperti nasi goreng, mie goreng, capcay, mie kuah dan lain sebagainya. Warung-warung makanan ini hanya dibuka saat malam saja, dan berbentuk tenda dipinggir jalan, mirip warung pecel lele atau warung lamongan di daerah pontianak.
Karena keseragaman menu yang disajikan, kami pun bingung untuk membeli makan, sehingga kami menentukan untuk masuk ke warung makanan yang namanya lebih familiar. Akhirnya kami memasuki salah warung tersebut.
Saat kami masuk kami pun disambut pegawai warung dengan mengucapkan selamat malam dan mempersilakan kami duduk disalah satu meja kosong yang ada. Suasana di dalam warung makan tersebut saat itu tidak begitu ramai, ada sekelompok orang yang sedang menikmati makanannya. Saya memperhatikan dan saya menerka mereka berasal dari wilayah sulawesi atau wilayah timur Indonesia karena saya mendengar logat mereka saat mereka bercakap-cakap.
Pegawai warung menyodorkan daftar menu makanan ke kami, daftar menu makanan tersebut tertulis nama makanan di bawah gambar makannya, dan saat itu kami memesan nasi goreng ayam dan minuman air kelapa muda.
Tidak menunggu lama pesanan kami sudah tersedia, dan kami mulai menikmati makanan yang di hidangkan. Saat makan ada beberapa penjual keliling menawarkan barang dagangannya seperti dompet atau lampu senter yang pada saat itu saya tidak tertarik sama sekali untuk membeli barang apapun.
Salah seorang dari kelompok orang yang saya terka dari wilayah timur Indonesia terlihat sedikit berargumen di depan meja kasir, kemudian dia kembali ke tempat duduk teman-temannya dan berbicara dengan nada jengkel, tetapi saya tidak memahami apa yang diucapkannya.
Nasi goreng yang kami pesan, sama seperti nasi goreng pada umumnya dengan daging ayam yang di suir atau di potong kecil-kecil di atasnya, dan ada sepotong mentimun di pinggir piringnya. Sandy bilang kepada saya bahwa nasi gorangnya enak, dan saya sependapat dengan dia. Setelah makan, kami ke meja kasir untuk membayar.
Sepertinya saya mulai memahami apa yang membuat salah seorang tadi terlihat jengkel, karena saya pun sangat kaget saat melihat kuitansi yang disodorkan oleh petugas kasir kepada kami. Di secarik kertas itu tertulis nasi goreng ayam 2 dan es kelapa muda 2 dengan total harga Rp 200.000,-. Saya berusaha bersikap tenang dan menanyakan kembali, apakah betul hitungan harganya, dan kasir bilang itu memang harga yang harus di bayar. Saat itu langsung terlintas dibenak saya kalau saya adalah korban pedang yang tidak memiliki etika bisnis dan etika sosial, saya bayar dan di dalam hati saya tidak akan mau lagi makan di tempat seperti ini atau sejenis ini. Sandy berkata kepada saya "nasi goreng yang tadinya enak, sekarang jadi tidak enak lagi", dan saya sependapat dengan dia.
Sepertinya di era sekarang etika dan norma-norma sosial mulai terkikis oleh beratnya kehidupan sehingga sebagian orang beranggapan bahwa uang adalah prioritas utama dalam menjalani kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H