Mohon tunggu...
Asyraf al Faruqi
Asyraf al Faruqi Mohon Tunggu... Lainnya - untuk menulis

Just do it.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Birokrasi Politik: Kebijakan Antara Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat

23 April 2020   17:17 Diperbarui: 23 April 2020   17:24 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 2 Maret 2020, Gubernur Jakarta Anies menyebutkan bahwa 115 orang dalam pemantauan dan 32 pasien dalam pengawasan terkait corona, dalam hal ini Gubernur Anies langsung membuat Tim tanggap Virus Corona yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat. 

Menurut Anies, instruksi ini adalah sebagai bentuk kewaspadaan dan persiapan jika terjadi kasus wabah virus corona di Jakarta. Namun, pernyataan ini kemudian dibantah oleh Menkes, Terawan Agus Putranto. 

Belum sehari setelah Menteri Kesehatan Indonesia membantah pernyataan mengenai kasus corona di Indonesia, dua warga Indonesia positif terdeteksi corona. Penyataan ini dituturkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo.

Sejumlah kebijakan Anies tangani COVID-19 kerap dimentahkan pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian penanganan COVID-19 di DKI Jakarta sebagai episentrum Corona di Indonesia. 

Sampai pada tanggal 1 April 2020 peningkatan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia begitu cepat apalagi di daerah DKI Jakarta khususnya, Gubernur Jakarta Anies kembali mengusulkan sebanyak tiga usulan kepada pemerintah pusat yang kemudian ditangguhkan selama hampir 14 hari. 

Berikut rincian penolakan pemerintah pusat terhadap kebijakan Pemprov DKI Jakarta terkait pencegahan penyebaran wabah pandemi COVID-19 yaitu, 1. Pembatasan Transportasi Publik 2. Stop layanan Bus AKAP, dan 3. Karantina Wilayah.

Akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan untuk tidak melakukan karantina atau lockdown wilayah-wilayah yang sudah positif terjangkit wabah pandemic COVID-19. Jokowi lebih memilih menerapkan kebijakan menjaga jarak fisik atau physical distancing. 

Dikatakan juga bahwasannya Pemerintah Pusat ini memiliki pertimbangan sendiri sehingga tak melakukan lockdown. Begitu juga tanggapan Menteri PLT Luhut Binsar Panjaitan bahwasannya usulan ini akan ditangguhkan karena pemeintah pusat harus mengkaji dampak ekonomi yang akan terkena.

Presiden Joko Widodo telah mempelajari kebijakan negara lain yang telah melakukan lockdown namun tak efektif dalam memutus rantai penyebaran virus pandemi baru itu bernama COVID-19. Misalnya, kebijakan lockdown di India. 

Atas dasar itulah, Jokowi meminta seluruh kepala daerah untuk tidak melakukan karantina wilayah atau pembatasan akses lainnya. Tak hanya itu, Jokowi juga secara tegas membatalkan kebijakan yang sudah diambil kepala daerah dalam menangani COVID-19, seperti yang terjadi di Pemprov DKI Jakarta.

Sebelum direstui Jokowi, Anies telah mengeluarkan kebijakan yang berorientasi karantina wilayah. Di antaranya meliburkan siswa; tempat kerja bagi ASN dan pekerja swasta; menunda kegiatan keagamaan di rumah ibadah, serta membatasi interaksi sosial. 

Alasannya, pemerintah pusat memilih menerapkan "pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan" dan "hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju darurat sipil". 

Tetapi pada akhirnya setelah pemerintah pusat terdesak dengan begitu cepatnya penyebaran wabah ini dan tingkat kematian yang semakin naik akhirnya pemerintah pusat melalui Permenkes 9 tahun 2020, DKI Jakarta melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk pertama kalinya.

Dalam PP tersebut juga dijelaskan langkah minimal yang dilakukan adalah dengan peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat umum. 

Langkah-langkah yang sebenarnya sudah dilakukan DKI, dan beberapa kota lain, sebelum PP ini terbit. Artinya, pemerintah pusat hanya mengamplifikasi kebijakan yang sudah dilakukan Pemprov. 

Ini bukan kali pertama kebijakan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies Baswedan dalam menangani pandemi Corona terus menerus dimentahkan istana.

Selain pembantahan mengenai kasus positif wabah ini di Jakarta dan tidak adanya dukungan pemerintah pusat dalam pembuatan tim satgas khusus dalam menangani wabah ini serta penangguhan tiga usul kebijakan Pemprov DKI Jakarta masih ada banyak lagi beberapa langkah Pemprov DKI Jakarta khususnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang disinggung oleh Pemerintah Pusat dalam penanganan kasus ini.

Contohnya ialah ketika pembuatan situs COVID-19 ini di situs resmi Pemprov DKI Jakarta yang diindir oleh Kementrian Kominfo, usulan wisma atlet sebagai RS Corona, menunda E-Formula disindir oleh Mahfud MD, dikoreksi Jokowi terkait pemangkasan jam operasional transportasi public, pembatalan kebijakan Pemprov DKI Jakarta oleh Kementrian Perhubungan untuk menghentikan mobilisasi angkutan umum bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Jemput Antar Provinsi (AJAP) dan Pariwisata dari dan ke luar Jakarta, dll.

Akhir-akhir ini juga kita diperlihatkan dengan pertentangan Permenkes yang melarang ojol untuk membawa penumpang selama PSBB dan Permenhub yang membolehkannya, usulan Gubernur DKI dan Gubernur Jawa Barat juga kembali tidak diidahkan oleh Kemenhub masalah pemberhentian operasi KRL di Jabodetabek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun