Mohon tunggu...
Asyifa Imanda
Asyifa Imanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - ~

Mahasiswa S3 di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mencegah Teknologi Pengenalan Emosi Menjasi Pseudo-science

20 Desember 2021   09:34 Diperbarui: 20 Desember 2021   09:40 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain dari kekhawatiran mengenai kelemahan dasar ilmu yang melandasi teknologi pengenalan emosi tersebut, kekhawatiran lainnya adalah menyangkut norma etik dan hak asasi manusia. Dengan berlandaskan pada teknologi yang rentan akan kebenarannya, pengambilan keputusan berdasarkan analisis hasil dari teknologi tersebut dinilai rentan akan kebenarannya pula. Sistem pengambilan keputusan yang didasari oleh teknologi pengenalan emosi dinilai dapat menyebabkan perlakuan tidak adil dengan menganalisis lalu mengklasifikasikan manusia dengan mengeneralisasikannya pada kategori-kategori tertentu yang menyentuh aspek paling pribadi dalam hak asasinya. Hal ini diperburuk juga dengan jika teknologi pengenalan emosi tersebut digunakan untuk melakukan pengawasan, pemantauan, pengontrolan akses, hingga pemaksaan kekuasaan [6].

Untuk membuat suatu sistem pengenalan emosi yang terhindar dari pseudoscience, landasan berpikir yang mengacu pada teori falsifikasi Karl Popper dan evolusi ilmu pengetahuan dari Thomas Kuhn perlu selalu dipertimbangkan dalam pengembangannya. Perlu disadari sebagaimana teknologi berbasis kecerdasan artifisial ataupun machine learning lainnya, tidak ada yang sempurna meskipun teknologinya selalu berusaha dikembangkan dan ditingkatkan. Dalam pengembangan teknologi penegnalan emosi perlu adanya vatasan-batasan dan penerimaan falsifikasi. Tingkat kesuksesannya bukan hanya dinilai berdasarkan verifikasi, validasi, serta pembenaran nilai akurasi sistemnya. Perlu kewaspadaan terhadap teknologi pengenalan emosi yang sangat handal dan dapat dipercaya karena dalam [7], pada kondisi yang ekstrem teknologi pengenalan emosi yang digunakan misalnya untuk mendeteksi kepribadian sisyem pengawasan tindak kriminalitas, dan tingkat kepercayaan seseorang hanya berdasarkan penampilan wajah atau fisik luar orang tersebut cenderung kurang akurat dan seringkali dikritik sebagai pseudoscience. Sangat penting untuk diperhatikan dari mana data latih yang digunakan untuk mengembangkan sistem pengenalan emosi itu didapat, bagaimana metodenya, dan apakah ada tendensi khusus yang melatarbelakangi pengembangan data tersebut.

Dalam teknologi pengenalan emosi, definisi dari emosi itu sendiri sangat penting ditetapkan [8] selain untuk pengukuran keberhasilan, hal ini juga dinilai dapat menjadi acuan seberapa dalam teknologi pengenalan emosi ini dapat digunakan, apakah dalam emosi diskrit seperti kategiri 6 emosi [9] atau kontinyu seperti dalam [10]. Dalam penelitian [7] bahkan telah disusun sebuah lembar kerja yang berisi 50 parameter yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan saat mengembangkan teknologi pengenalan emosi sehingga lebih menghargai sains, norma etik, dan hak asasi manusia. Adapun parameter dalam lembar kerja tersebut dibagi ke dalam beberapa kategori diantaranya task design, data, metode, impak dan evaluasi, dan implikasi terhadap privasi dan kelompok social. Selain itu perlu juga pertimbangan lebih jika teknologi otomasi berdasarkan sistem pengenalan emosi yang dikembangkan memiliki kemungkinan berlandaskan stereotipe atau generalisasi yang berlebihan, maka skala otomasi yang dapat digunakan tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada sistem saat perlu adanya pengambilan keputusan.

Selain dari sisi teknologinya, pengambilan kesimpulan atau klasifikasi pada pengenalan emosi yang sejatinya berdasarkan bidang ilmu psikologi itu sendiri perlu diberi perhatian. Dalam [5] terdapat pedoman yang dapat digunakan untuk memperkuat baik penelitian maupun praktik penerapan ilmu psikologi, yakni dengan 1) mencari bukti yang tidak hanya membenarkan; 2) jangan terlalu terikat pada hipotesis seseorang; 3) pertimbangkan hipotesis saingan; 4)jangan menerapkan konsep cherry-pick; 5) letakkan intuisi seseorang untuk tes sistematis; 6)jadilah skeptis terhadap kebijaksanaan klinis; 7) sadari titik-titik butanya; 8) dorong perbedaan pendapat; 9)selalu kuantifikasi; 10) pertahankan sikap kritis.

Penutup

Teknologi pengenalan emosi sudah banyak dikembangkan, seperti pada lembaga penegak hukum yang menggunakan face recognition untuk menjaga masyarakat lebih aman, bisnis ritel untuk mencegah kejahatan dan kekerasan dan pada bandara untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan wisatawan. Namun hingga kini masih banyak perdebatan mengenai apakah teknologi pengenalan emosi ini sebenarnya didasari oleh ilmu pengetahuan atau justru pseudo-science. Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan mulai dari teori revolusi ilmu pengetahuan Thomas Kuhn, falsifikasi Karl Popper, dan beberapa literatur terkait teknologi pengenalan emosi itu sendiri, dapat disimpulkan bahwa memang teknologi pengenalan emosi ini rentan untuk terjerumus dalam domain pseudo-science. Namun sama halnya dengan teknologi lainnya dengan dasar pembelajaran mesin atau kecerdasan artifisial, secara pragmatis dapat kita pandang teknologi pengenalan emosi ini berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu yang perlu diperhatikan dalam aspek pengembangannya dan pengambilan dasar teori yang mendasari teknologi pengenalan emosi tersebut.

Referensi

[1]        M. I. Zarkasyi, M. R. Hidayatullah, and E. M. Zamzami, “Literature Review : Implementation of Facial Recognition in Society,” J. Phys. Conf. Ser., vol. 1566, no. 1, 2020, doi: 10.1088/1742-6596/1566/1/012069.

[2]        K. S. FRIEDMAN, A Logic of Scientific Discovery. 1990.

[3]        G. Mohammadi and P. Vuilleumier, “A Multi-Componential Approach to Emotion Recognition and the Effect of Personality,” IEEE Trans. Affect. Comput., vol. 3045, no. c, pp. 1–1, 2020, doi: 10.1109/taffc.2020.3028109.

[4]        J. W. Crampton, “Platform biometrics,” Surveill. Soc., vol. 17, no. 1–2, pp. 54–62, 2019, doi: 10.24908/ss.v17i1/2.13111.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun