Mohon tunggu...
Asyer Arwadi Bulan
Asyer Arwadi Bulan Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba Tuhan

Terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Intropeksi dan Tanggung Jawab, Bukan Mencari Kambing Hitam

26 Agustus 2024   13:57 Diperbarui: 26 Agustus 2024   13:59 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi scapegoat (sumber gambar:dokpri/simplypsychology.org)

Kemarin sore, 25 Agustus 2024, terjadinya kecelakaan ringan (motor tumbang), namun tidak menyebabkan cidera parah, di pertigaan menuju rumah penulis.

Kesaksian orang tuanya (dibonceng), sudah memberikan aba-aba agar dia menurunkan persneling gigi motor ke nomor satu, namun tidak digubris anak tersebut, mengakibatkan kendaraannya rebah.

Akan tetapi, bukannya menyadari kesalahannya sendiri, dia malah menyalahkan seekor anjing yang sedang beristirahat di tepi jalan.

Meskipun anjing tersebut sama sekali tidak menyebabkan kecelakaan, remaja tersebut tetap merasa bahwa kesalahan ada pada anjing tersebut.

Perilaku menyalahkan orang lain atau bahkan benda mati atas kesalahan atau kegagalan yang kita alami bukanlah hal baru dalam masyarakat.

Ini adalah refleksi dari pola asuh dan pembelajaran yang diterima sejak kecil. Seringkali, tanpa disadari, anak-anak diajarkan untuk mencari kambing hitam atas masalah yang mereka hadapi, daripada melihat ke dalam diri dan merenungi apa yang salah dari tindakan mereka sendiri.

Dalam kasus kecelakaan ini, sang remaja lebih memilih untuk mencari alasan eksternal daripada mengevaluasi kemampuannya dalam mengendarai sepeda motor.

Pola pikir seperti ini, di mana seseorang selalu mencari kesalahan pada faktor eksternal, sebenarnya sangat merugikan.

Tidak hanya menghambat perkembangan pribadi, tetapi juga dapat menciptakan sikap apatis dan tidak bertanggung jawab.

Anak-anak yang tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka selalu benar, dan bahwa segala sesuatu yang salah harus disebabkan oleh orang lain, akan kesulitan menghadapi realitas kehidupan yang penuh dengan tantangan dan tanggung jawab.

Latar belakang dari perilaku seperti ini sering kali dapat ditelusuri kembali ke pola asuh yang diterapkan oleh orang tua.

Orang tua yang selalu membela anak mereka tanpa mempertimbangkan kesalahan yang mungkin dilakukan oleh anak tersebut secara tidak langsung mengajarkan bahwa menyalahkan orang lain adalah sesuatu yang wajar.

Sebagai contoh, biasa sering kita lihat, jika seorang anak jatuh karena berlari terlalu cepat di rumah dan orang tua segera menyalahkan lantai yang licin tanpa menegur anak untuk lebih berhati-hati, anak tersebut belajar bahwa kesalahan ada pada lantai, bukan pada dirinya yang kurang berhati-hati.

Penulis, jika anak penulis jatuh seperti contoh di atas karena keteledorannya, penulis selalu katakan bahwa itu salah onong (panggilan kesayangan) ya. Dan penulis tidak pernah menyalahkan lantai yang licin dengan cara memukul lantai tersebut.

Hal ini diperparah dengan kurangnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Pendidikan formal sering kali lebih fokus pada aspek akademis daripada pada pengembangan karakter.

Anak-anak yang tidak dibiasakan untuk mengintrospeksi diri akan tumbuh menjadi individu yang selalu merasa benar dan sulit menerima kritikan atau kesalahan.

Mereka cenderung tidak mampu menghadapi kegagalan dengan bijak dan akan selalu mencari alasan di luar diri mereka.

Kembali ke kasus kecelakaan yang terjadi, jika remaja tersebut diajarkan sejak kecil untuk bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, mungkin dia tidak akan menyalahkan anjing yang tidak bersalah.

Sebaliknya, dia akan merenung dan mungkin menyadari bahwa ada yang salah dengan cara dia mengendarai sepeda motor atau bahwa dia perlu lebih berhati-hati saat berbelok.

Introspeksi seperti ini sangat penting karena dapat mendorong individu untuk terus belajar dan berkembang, serta menghindari kesalahan yang sama di masa depan.

Dalam jangka panjang, perilaku menyalahkan orang lain akan menciptakan masyarakat yang tidak sehat.

Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang enggan bertanggung jawab akan sulit untuk maju dan berkembang.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai tanggung jawab dan introspeksi sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah.

Anak-anak perlu diajarkan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar, dan bahwa yang terpenting adalah bagaimana mereka merespons kesalahan tersebut dengan bijak.

Mengubah pola pikir yang sudah terbentuk bukanlah hal yang mudah, namun dengan upaya bersama antara orang tua, guru, dan lingkungan sekitar, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil.

Remaja seperti yang terlibat dalam kecelakaan tadi mungkin masih bisa belajar untuk lebih bertanggung jawab jika diajarkan dengan pendekatan yang tepat.

Ini adalah pelajaran bagi kita semua, bahwa tanggung jawab adalah bagian penting dari kehidupan yang perlu kita tanamkan sejak dini.

Asyer Arwadi Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun