Mohon tunggu...
Asyari Attangkeli
Asyari Attangkeli Mohon Tunggu... -

Alumnus Studi Agama dan Resolusi Konflik Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Filsafat IAIN Jember, Relawan BAZNAS Kab. Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hingar-bingar Hari Lahir Pancasila

7 Juni 2018   23:07 Diperbarui: 10 Juni 2018   21:44 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pancasila dalam sejarah lahirnya yakni saat dipidatokan oleh Bung Karno, sudah diterima secara aklamasi oleh seluruh elemen 72 tahun yang lalu, tepatnya 1 Juni 1945. Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) dalam acara Nurcholish Madjid memorial Lecture III beberapa tahun yang lalu, menyebutkan bahwa pancasila merupakan sumbangan terbesar Bung Karno dalam sejarah keindonesiaan.

Pancasila secara redaksional yang disampaikan 1 Juni 1945 tidak seperti yang kita ketahui saat ini. Akan tetapi perdebatan redaksional dan sistematika tersebut tidak akan dibahas pada kesempatan kali ini,

Sebagai dasar ideologi negara yang dibangun dengan penuh kesadaran. Tugas selanjutnya menerjemahkan nilai-nilai luhur Pancasila itu ke dalam kenyataan kehidupan yang kongkret. Suatu realitas yang selama ini diangankan dan diimpikan oleh pendiri bangsa, bahkan oleh generasi berikutnya baik oleh kalangan masyarakat kota yang sadar akan urgennya nilai-nilai pancasila.

Tahun 2016, tepatnya 1 Juni 2016, Presiden Republik Indonesia, Ir, Joko Widodo, menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari Lahirnya pancasila. Penetapan sebagai hari lahir pancasila tersebut, di satu sisi menyulap tanggal 1 juni menjadi tanggal yang sakral bagi negara ini, namun di sisi yang lain 1 Juni menjelma menjadi "ruang" ekspresi semata, mengekspresikan ide, gagasan bahkan ekspresi yang entah bermotif apa.

Ruang tersebut semarak seakan ingin mempertegas bahwa diri masing-masing adalah yang paling berhak mewakili dan paling berhak untuk memaparkan pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.

1 Juni menjadi ruangan bagi siapa saja yang sekarang sedang menikmati kekayaan Indonesia. Baik mereka para elit politik yang bisanya mempolitisasi segalanya, mulai dari politisasi anggaran, hukum, pendidikan sampai politisasi agama.

Maka tidak heran jika pada tanggal 1 Juni, tidak menutup kemungkinan hanya akan membuka kran selebar-lebarnya bagi tikus-tikus berdasi yang kebetulan belum diketahui korupsinya yang juga dengan lantang akan mengucapkan "selamat hari lahir pancasila" hanya sekadar untuk menutupi operasi penghapusan "nol" dalam rancangan anggaran.

Semua warga negara memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri bahkan tidak sedikit terpampang di beberapa media sosial misalnya, "saya Indonesia, Indonesia itu saya, saya pancasila, pancasila itu saya.

Jika dengan mengucapkan itu sudah dianggap nasionalis dan pancasilais, saya rasa koruptor, maling bahkan manusia kanibal sekalipun bisa mengucapkan itu.

1 Juni tidak lebih dari ritual kebangsaan dan kebudayaan untuk menutupi tangan-tangan kotor yang menjadikan agama, budaya, politik bahkan tuhan sebagai "kuda troya", setelah visi penghancuran selesai maka akan kembali meneriakkan pancasila untuk menutupi tangan kotornya, sungguh pemahaman terkait filsafat yunani sudah matang, luar biasa.

Antusias hari lahirnya pancasila ini seakan memberikan informasi bahwa tak ada masalah di negeri ini, tapi bagiku, 1 Juni hanya semacam obat bak morfin yang ketika disuntikkan akan menenangkan, namun namanya juga morfin, hanya akan memberkan efek tenang sejenak, setelah efeknya habis maka akan kembali menjerit kesakitan dan harus menunggu 1 Juni tahun berikutnya untuk menenangkannya kembali.

Hari ini semuanya bersuara pancasila, iya, 1 Juni adalah suara pancasila, tidak ada suara lain yang saya dengar, padahal baru kemaren saya melihat dan mendengar di televisi, membaca di koran-koran, bahwa ketuhanan yang maha esa sedang diinjak-injak demi politik, semuanya berhak menyeret seseorang ke jeruji besi atas nama ketuhanan yang maha esa itu.

Tidak ada tuhan yang esa di negeri ini, karena masing-masing orang merasa dirinya yang paling benar. Yang satu tuhan saja tengkar, apalagi antar agama yang katanya beda tuhan, sebut saja misalnya penyerangan terhadap rokoh agama di salah satu gereja di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pancasila nampaknya merupakan mimpi pendiri bangsa yang mungkin selama hanya akan jadi mimpi. Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa  terdapat 633 suku bangsa yang ada di Indonesia dan dari sekian banyak suku yang ada, berjalan lurus dengan konflik suku yang terjadi. Tidak hanya kerugian materi, bahkan pembumihangusan nyawa warga negaranya.

Dari sekian ratus suku tersebut tentunya mereka beragama dengan corak keberagamaan yang berbeda-beda, bahkan di Madura-Jawa Timur misalnya, akan dijumpai beberapa yang mengatakan bahwa agama saya Agama NU (Nahdlatul Ulama).

Meskipun statement tersebut bisa diberikan bakan sebagai idiom semata, namun hal tersebut merupakan capaian yang luar biasa bagaimana NU disulap menjadi sebuah agama di daerah yang kental dengan budaya.

Fenomena tersebut di atas memberitahukan pada kita bahwa sebagai bangsa Indonesia yang kaya raya akan suku, agama, ras dan antar golongan, melangkah sedikitpun, maka kita akan segera dibenturkan dengan sesuatu yang pasti akan berbeda dengan identitas SARA sedang melekat pada diri kita yang pada akhirnya akan memberikan reaksi yang beragam, mulai dari reaksi yang paling adem sampai saling berantem.

Oleh sebab itu, sebagai bagian dari warga negara Republik Indonesia, baik warga warisan ataupun tidak, nampaknya tidak salah jika saya akan mengutip kata-kata Buya Syafii lagi, yang isinya kurang lebih tidak sepatutnya pancasila hanya dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan namun dihianati dalam perbuatan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun