Mohon tunggu...
Asyari Amir
Asyari Amir Mohon Tunggu... Jurnalis - Asyari maran

Buruh Tani

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kecaman Kampus ke Jokowi, Ditunggangi?

12 Februari 2024   10:05 Diperbarui: 12 Februari 2024   10:11 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkini dari beberapa pemberitaan pada media yang semakin panas dekat pencoblosan ini, adalah soal banyaknya kampus yang mengecam demokrasi kita. Kampus mengecam kepemimpinan Jokowi yang pada penghujung jabatannya mempertontonkan tindakan yang bertentangan dengan nilai demokrasi yang seharusnya. 

Universitas Gadjah Mada memulainya pada tanggal 31 Januari 2024 lalu, yang merupakan almamater dari presiden Jokowi. Saya pikir tindakan ini sebagai bentuk kepedulian UGM  sebuah rumah yang pernah dihuni oleh Jokowi. Lebih-lebih sebagai teguran moral bahwa mungkin, Jokowi terlarut menyeleweng dari nilai-nilai yang harus menjadi prinsip sebagai alumnus Gajah Mada.

Kecaman yang diberikan Sivitas Akademika Gajah Mada tersebut dilatarbelakangi pernyataan Jokowi yang mengatakan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye.

Memang pada tulisan saya sebelumnya, aturan hukum kita terutama UU Pemilu tidak secara eksplisit melarang seorang Jokowi sebagai presiden berpihak terhadap Paslon tertentu bahkan memungkinkan untuk berkampanye asalkan memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU tersebut.

Namun, saya kira kenetralan adalah bagian dari etika kepemimpinan. Sehingga poin ini yang mempenetrasi akademisi menggagas gelombang protes terhadap kepemimpinan Jokowi.

Rumusan yang saya ingin bahas kali ini adalah:

1. Apakah pernyataan Kampus-kampus terindikasi ditunggangi?

2. Apa efek elektoral bagi ke-3 Paslon?

Pertama. Gejolak demokrasi modern tidak bisa dinafikan bahwa setiap kali gerakan untuk mengecam pemerintahan, selalu dicurigai sebagai gerakan yang berafiliasi dengan oposan (terutama partai oposisi).

Keberpihakan pada setiap gerakan demonstrasi misalnya, selalu ditanyakan dan dinyatakan kemana keberpihakannya dan disparatiskan melalui pernyataan tuduhan.

Ironinya, antar kelompok yang sama-sama berjuang dijalanan pun saling mengintai dan mencurigai satu dengan yang lain. Sungguh memprihatinkan.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kecurigaan yang muncul. Pertama. Memang murni berasal dari krisisnya kepercayaan dari masyarakat melalui berbagai kesimpulan yang mereka persepsikan di lapangan dengan kondisi kelompok dan individu yang melakukan gerakan tersebut kurang mewakili kepentingan mereka. Kedua. Terdapat individu atau kelompok yang sengaja membelah gerakan tersebut sehingga terjadi perpecahan antar mereka yang berujung pada kurang masifnya gerakan, atau bahkan menyeleweng dari visi kolektif yang dari awal ingin diperjuangkan. Negeri ini lebih banyak kita temui gerakan mandek dikarenakan faktor bagian kedua. 

Kita spesifikan pada gerakan Sivitas Kampus!

Sebelum jauh, saya ingin bercerita salah satu pengalaman saya waktu masih menjadi mahasiswa yang hendak berangkat aksi demontrasi yang waktu itu dimotori oleh BEM Kampus. Ketika hendak berangkat aksi, dosen saya menyampaikan kepada saya dan seluruh mahasiswa dalam kelasnya, " siapa yang berangkat aksi, tolong dicatat nama-namanya!" Sontak kami semua terdiam." Saya akan pastikan nilainya A di kartu hasil Studynya nanti"! Sambung beliau memecah keheningan. Apa yang terjadi setelahnya?kami semua dalam satu kelas tersebut memenuhi barisan masa aksi di salah satu balai kota bersama demonstran lain. Dari cerita tersebut, saya ingin sampaikan bahwa, setiap gerakan mahasiswa sebenarnya mendapatkan dukungan yang banyak dari para dosen dan sivitas akademika kampus. Namun, mereka selalu dihalangi oleh pihak tertentu yang punya relasi kuasa superior yang kapan saja dapat digunakan untuk membungkam mereka. Sehingga, para dosen maupun sivitas akademika kampus memilih untuk diam dan hanya sekedar bisik-bisik dengan mahasiswanya untuk melanjutkan perjuangan.

Soal pernyataan Civitas Akademika belakangan ini, saya pikir tindakan tersebut murni yang lahir dari kajian-kajian mendalam yang ilmiah. Sehingga bagi saya, kecurigaan yang dinarasikan Pak Bahlil, menjadi tidak mendasar. Sebetulnya, kita dapat meminta pertanggungjawaban atas narasi tersebut. Salah satu asas dalam hukum pidana "Actori In Cumbit Onus Probandi" yang berarti bahwa siapa yang menuntut, dialah yang wajib membuktikan. Asas ini serupa dengan asas dalam hukum acara perdata, "Actori Incumbit Probatio "7artinya siapa yang menggugat dia wajib membuktikannya. 

Jadi, dari awal kampuslah yang menjadi lumbung peradaban, dan akan seterusnya tetap menjadi entitas yang bandel akan akan ketidakadilan.

Kedua. Apapun gerakan yang terjadi, saya aminkan sebagai suatu tindakan yang berefek politis. Politik berpengaruh pada segala aspek kehidupan.

Politik berpengaruh sampai pada kebutuhan dasar kehidupan dan hal paling remeh dalam kehidupan. Bicara politik, kita tidak bisa lepaskan dari kebijakan yang muncul karenanya. Kebijakan selalu lahir dari politik. Ambil saja contoh! kita tidak mungkin menggunakan Handphone merek jepang jika tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengimpornya. Ini kebutuhan yang saya maksud remeh. Banyak lagi kebutuhan lain masyarakat yang tidak bisa dilepas dari kebijakan politik. Poinnya adalah politik selalu berpengaruh terhadap kehidupan.

Begitupun sebaliknya, kehidupan dan tindakan yang diambil dalam masyarakat akan berpengaruh pada perkembangan politik yang terjadi.

Konteksnya adalah, saya ingin menyampaikan bahwa tindakan berupa kecaman terhadap Jokowi selalu punya efek  elektoral Jokowi bersama Paslon yang didukungnya. Kita ketahui, Jokowi dekat dan diduga kuat mendukung Prabowo. Sehingga, gamblang bahwa berpengaruh buruk terhadap elektabilitas Prabowo dan gibran.

Lalu bagaimana dengan kedua Paslon lain? Saya pikir keduanya tetap mendapatkan simpati dengan persenan yang berbeda dari masyarakat. Namun, yang paling diuntungkan adalah pasangan Anis dan Imin. Begini. Apapun tindakan Jokowi, masyarakat cerdas masih menganggap Ia merupakan kader PDI. Penyelewengan yang dilakukan Jokowi, turut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap PDI. Jika penilaian buruk yang diberikan maka, buruk pula nilai yang diterima PDI. Sekali lagi! Karena Jokowi masih kader PDI.

Terakhir. Saya ingin sampaikan bahwa, " dalam perjuangan tidak ada sikap netral. Bersikap diam dan netral sama halnya kita bagian dari lawan kebenaran". Saya pribadi mendukung gerakannya Civitas akademika kampus. Bagi saya, perlu lebih banyak gerakan untuk sebuah ketidakadilan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun