Terkini dari beberapa pemberitaan pada media yang semakin panas dekat pencoblosan ini, adalah soal banyaknya kampus yang mengecam demokrasi kita. Kampus mengecam kepemimpinan Jokowi yang pada penghujung jabatannya mempertontonkan tindakan yang bertentangan dengan nilai demokrasi yang seharusnya.Â
Universitas Gadjah Mada memulainya pada tanggal 31 Januari 2024 lalu, yang merupakan almamater dari presiden Jokowi. Saya pikir tindakan ini sebagai bentuk kepedulian UGM Â sebuah rumah yang pernah dihuni oleh Jokowi. Lebih-lebih sebagai teguran moral bahwa mungkin, Jokowi terlarut menyeleweng dari nilai-nilai yang harus menjadi prinsip sebagai alumnus Gajah Mada.
Kecaman yang diberikan Sivitas Akademika Gajah Mada tersebut dilatarbelakangi pernyataan Jokowi yang mengatakan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye.
Memang pada tulisan saya sebelumnya, aturan hukum kita terutama UU Pemilu tidak secara eksplisit melarang seorang Jokowi sebagai presiden berpihak terhadap Paslon tertentu bahkan memungkinkan untuk berkampanye asalkan memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU tersebut.
Namun, saya kira kenetralan adalah bagian dari etika kepemimpinan. Sehingga poin ini yang mempenetrasi akademisi menggagas gelombang protes terhadap kepemimpinan Jokowi.
Rumusan yang saya ingin bahas kali ini adalah:
1. Apakah pernyataan Kampus-kampus terindikasi ditunggangi?
2. Apa efek elektoral bagi ke-3 Paslon?
Pertama. Gejolak demokrasi modern tidak bisa dinafikan bahwa setiap kali gerakan untuk mengecam pemerintahan, selalu dicurigai sebagai gerakan yang berafiliasi dengan oposan (terutama partai oposisi).
Keberpihakan pada setiap gerakan demonstrasi misalnya, selalu ditanyakan dan dinyatakan kemana keberpihakannya dan disparatiskan melalui pernyataan tuduhan.