Perkembangan politik kita semakin hari sepertinya semakin menarik. Keterlibatan tokoh-tokoh besar negeri ini dalam memberikan dukungan pada Paslon tertentu mewarnai drama panjang ini. Saya sebut drama lantas, toh kita akan kembali saling memeluk dan merangkul setelah semuanya berakhir.
Baru-baru ini presiden Jokowi kembali menjadi sorotan media. Jokowi menyampaikan kepada media bahwa seorang presiden dapat melakukan kampanye politik. Begini kira-kira yang disampaikan Jokowi yang saya copas dari Kompas.com "Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024). "Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.
Menurutnya kampanye boleh saja dilakukan oleh presiden asalkan tidak menggunakan fasilitas negara. Begitupun dengan menteri-menteri presiden punya hak yang sama.
Pernyataan tersebut mendapat kecaman dari berbagai kalangan tidak terkecuali Partai PDIP sebagai partai pengusung Jokowi pada pemilu 2019 lalu.
Bagi saya, pelekatan kepala negara kepada Jokowi tidak dapat dilepas begitu saja. Selalu punya pengaruh yang luar biasa, Â sekalipun secara nyata presiden mengatakan kepada khalayak tidak akan menggunakan fasilitas negara.
Bagaimana menurut sudut pandang hukum?
Secara hukum, dari awal memang presiden ikut andil dalam pemilu dan menjadi tugas dia. Presiden berperan dalam pembentukan keanggotaan tim seleksi dalam penetapan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU Pemilu. Jadi, misalnya jika presiden kemudian hari dianggap tidak netral dan memihak pada Paslon nomor 2 (Misalnya) Â maka, dapat diasumsikan sedari awal seorang presiden tidak netral dalam proses Pemilu.
Selanjutnya pada pasal 48 ayat (1) huruf b UU Pemilu diatur bahwa KPU Â melapor kepada DPR dan Presiden mengenai seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pada tahapan pemilu dan tugas lainnya.
Dari aturan tersebut, saya kira, yang dekat sekali dengan segala kecurangan-kecurangan potensial dalam tahapan pemilu adalah pemerintah dan atau Presiden.
Pada UU Pemilu juga mengatur bahwa ada beberapa pihak yang tidak dapat dilibatkan dalam kampanye.
Pada pasal 280 UU Pemilu, memang tidak mengatur seorang presiden dilarang terlibat dalam kampanye. Tapi diatur lebih lanjut dalam pasal 281 bahwa, bilamana kampanye melibatkan presiden, wakil presiden dan dll (sesuai isi pasal) maka, dijelaskan bahwa tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Dan harus menjalankan cuti diluar tanggungan negara.
Sekali lagi bahwa, secara aturan memang presiden bisa kampanye asalkan memenuhi syarat pada pasal 281. Kampanye dilakukan hanya sebatas Jokowi sebagai kader partai bukan sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Tapi apakah masyarakat mampu memilah pada posisi mana Jokowi sebagai manusia biasa yang punya hak untuk kampanyekan Paslonnya dan Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan. Saya juga sulit membedakan kedua posisi Jokowi tersebut.
Figur Jokowi memang belakangan ini, tetap konsisten baik dimata masyarakat. Survey terhadap kepuasan kinerja presiden ternyata berpengaruh besar terhadap tindakan Jokowi sebagai manusia biasa. Oleh karena masyarakat menilai kinerja pemerintah sama halnya dengan kinerja Jokowi secara personal maka, sulit sekali melepas pengaruh Jokowi sebagai presiden.
Tapi, satu hal yang pasti bahwa, jika kemudian hari Jokowi akhirnya berlabuh pada dermaga Paslon tertentu secara terang-terangan, maka dari awal skenarionya sudah matang dirancang untuk kemenangan Paslon yang didukungnya. Kenetralan yang dipertanyakan pada dirinya menemukan jawaban. Namun, semuanya sudah terlambat.
Menilik hal tersebut, pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan Presiden merusak sistem kepartaian, sehingga menimbulkan kerusakan etika dan moral. "Problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden akan mendukung anaknya. Tapi yang lebih parah presiden merusak sistem kepartaian kita,'' ujar Feri dalam keterangan Pers, Rabu (24/1). Feri juga menilai bahwa, etika politik seorang Jokowi harusnya mendukung kandidat yang diusung oleh PDIP yang juga mengusung dirinya pada 2019 lalu, bukan mendukung anaknya yang dari pasangan yang diusung oleh partai lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H