Berperkara hukum atau berhadapan dengan hukum selalu dipersepsikan harus punya ongkos yang mahal. Ibarat sudah jatuh kita harus tertimpa tangga besi. Babak-belur akhirnya. Akhirnya kita enggan dan malas untuk menyelesaikan masalah di meja hijau.Â
Ongkos perkara yang mahal, menjadikan kita enggan menggunakan proses hukum sebagai jalan penyelesaian masalah yang fair. Kita mulai membayangkan sosok pengacara yang berpenampilan necis dengan pakaian yang seba mahal, serta beretorika dengan gaya beken sebagaimana kebanyakan pengacara hebat. Ditambah lagi, ia datang dengan mobil mewah didampingi aspri-aspri muda dan energik. Pikir kita "Bisa jual rumah ini".
Tidak dapat dipungkiri bahwa, fee yang diterima oleh pengacara rata-rata bernilai fantastis. Begitu media kita memberitakan, dan kita bulat-bulat percaya. Tapi pada kasus-kasus besar, pada pengacara tertentu memang tarif yang diberikan pun lumayan membuat dompet kita mengigil.
Sebenarnya fee yang diterima dan yang diberikan, adalah kesempatan antara kedua belah pihak. Pengacara boleh punya patokan fee namun harus bersepakat dengan kliennya. Intinya tergantung kesepakatan. Ada teman yang bercerita ke saya, ia pernah dibayar dengan kripik singkong karena kliennya tidak mampu menyewa pengacara dengan uang. Sekali lagi tergantung kesepakatan antara klien dan si pengacara.
Layanan pengacara gratis oleh negara, ataupun kewajiban pengacara yang diatur dalam UU Advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma nyatanya belum banyak diketahui oleh masyarakat. Kita masih jauh dari masyarakat melek akan hukum. Rupa-rupanya pekerjaan negara untuk sosialisasi aturan masih perlu dievaluasi.Â
Terdapat dua layanan yang dapat diakses oleh masyarakat miskin buta hukum.
Pertama. Pro bono.Â
Saya coba nyontek sedikit dari hukum online. Pro Bono menurut Viswandro, Pro Bono artinya demi kebaikan. Lebih lanjut, Pro Bono sebagai layanan hukum untuk kepentingan umum atau untuk pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya.
Pengacaralah yang menjalankan kewajiban untuk pelayanan Pro Bono. Pengacara diwajibkan oleh Undang-undang Advokat sebagaimana yang diatur dalam pasal 22 ayat UU Advokat:
(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma- cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Jadi, Pro Bono menurut hemat saya yakni bantuan hukum secara cuma-cuma oleh pengacara berdasarkan Undang-undang bagi masyarakat miskin tanpa dipungut biaya.Â
Kedua. Prodeo.
Sekali lagi nyontek dari Hukum Online. Menurut Viswandro, prodeo berarti gratis; cuma-cuma; tanpa biaya. Senada dengan hal tersebut, dalam KBBI prodeo juga didefinisikan prodeo sebagai cuma-cuma; gratis.
Keduanya memiliki arti yang mirip. Sama-sama layanan hukum cuma-cuma. Namun bentuk pemberian prodeo ini berbeda dengan pro bono.
Jika pro bono yang diberikan oleh advokat, sedangkan prodeo diberikan oleh negara dalam bentuk layanan pembebasan biaya berperkara di pengadilan.
Dalam hal ini, negara menanggung biaya proses berperkara di pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali; sehingga setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat berperkara di pengadilan secara gratis, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 dan 4 Perma 1/2014.
Untuk dapat memperoleh layanan pembebasan biaya perkara ini, setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat mengajukan permohonan pembebasan biaya perkara secara tertulis, dengan melampirkan:
1. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/kepala wilayah setempat yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara;Â atau
 Surat keterangan tunjangan sosial lainnya, seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras Miskin (Raskin), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan daftar penduduk miskin dalam basis data terpadu pemerintah atau yang dikeluarkan oleh instansi lain yang berwenang untuk memberikan keterangan tidak mampu.
Jadi, akses untuk bantuan hukum gratis sebenarnya dapat klaim oleh siapa saja asalkan memenuhi syarat sebagai masyarakat yang kurang mampu. Asalkan kita melek hukum atau tidak, asalkan pemerintah mau atau tidak bersosialisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H