Merantau, dahulu begitu bangganya dengan kata ini. Menjadi bahan buah bibir pula bagi kerabat dan tetangga sekitar. Pergi meninggalkan rumah memang bukanlah hal yang semua orang dapat lakukan, baik dari pihak anaknya ataupun orangtuanya bahkan keluarga besarnya. Sehingga memutuskan untuk merantau adalah sebuah anugrah dan kisah yang mungkin tak terbayarkan. Sebuah kota kecil dengan luas daerah tidak mencapai 100 km2, kemudian memilih untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perkuliahan ke suatu kota metropolitan dan kota teramai kedua yaitu Kota Surabaya. Â
Kota dengan banyak sekali keanekaragaman agama, suku, budaya dan etnis ada disini. Tentu saja saat menjadi mahasiswa yang dilihat adalah bagaimana budaya daerah setempat yang kemudian harus segera beradaptasi dengannya. Tidak hanya itu, pun dengan tugas-tugas perkuliahan yang alamaak terkaget-kaget bejibunnya. Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus segera beradaptasi dengannya.Â
Ingat sekali pada pekan awal saat merantau dimana masih belum tau dimana harus beli makanan yang enak sekaligus murah, karena ya anak rantau harus pinter berhemat. Lalu ketemu yang enak dan murah ternyata tidak cocok untuk perut, alhasil diare dan ya begitulah.Â
Saat ospek dilakukan, sudah mulai ada keluhan sedikit-sedikit nih soal penugasan, jam yang tidak tolerir dan sebagainya. Dan jeng jeng, ternyata ada juga gunanya ospek, haha. Yaitu tubuh kita dilatih untuk 'penat' alias ternyata tugas kampus itu lebih banyak dan lelah daripada ospek. Satu lagi, satu matakuliah itu kan 4 bulan ya, kira-kira, artinya kita harus menahan kepenatan itu selama 4 bulan berturut-turut. MasyaAllah TabarakaAllah.Â
Kuliah dijurusan Teknik, berhadapan dengan tugas-tugas, dengan hitung-hitungan, gambar menggambar, komputer-komputeran, labor-laboran, pindah ke gedung yang lumayan jauh, masyaallah ternyata ini ya yang dinamakan kuliah. Belum lagi kuis hingga ujian yang tidak kita duga. Nikmat sekali ternyata berkuliah. Sungguh, ini nikmat dalam artian positif ya. Hal ini membuat kita bisa tumbuh dan berkembang secara cepat. Kita merasa fungsi otak kita berjalan dengan semestinya. Lingkungan yang hadir adalah lingkungan akademik. Dan belum lagi jiwa-jiwa yang mudah terbakar dengan perlombaan. Ditambah dengan begitu banyak pilihan untuk berorganisasi. MasyaAllah TabarakaAllah.
Sehingga dimasa kuliah tentu saja bukan masa yang biasa-biasa saja. Ini adalah masa keemasan seseorang  dimana bisa merasakan berbagai aktivitas yang dapat menambah value diri. Tapi balik lagi, sesuai dengan keinginan dan kecondongan orang tersebut. Mulai memasuki semester 5 atau 6, biasanya merupakan masa puncak dalam organisasi. Entah itu menjadi puncak tertinggi organisasi atau mulainya banyak job-job luar kampus sehingga aktivitasnya sudah mulai lebih luas. Sehingga tentu saja butuh sikap bijak saat mengatasi kondisi-kondisi demikian.Â
Lantas menjadi seseorang yang merasakan ujian skripsi juga merupakan suatu proses tumbuh. Saat sudah mengetahui minat akademik saat itupula kita merencanakan ide, penelitian dan mempertanggung jawabkannya dihadapan pengajar (biar gak serem banget bahasanya) alias dosen penguji. Lalu setelahnya bagaimana?Â
Ada yang dengan minatnya, lalu melanjutkan kuliahnya ke S2, adapula yang langsung mencari pekerjaan, dan adapula yang pulang kampung. Ini adalah masa-masa yang butuh keberanian untuk mengambil keputusan. Adapun yang memilih untuk pulang kampung atau apapun itu, itu tidak masalah. Setiap keputusan tentu ada pertimbangannya. Dan setiap orang dibebaskan untuk memilih jalan hidupnya. Saat ini pulang kampung menjadi hal yang menyenangkan, karena tidak ada lagi beban tugas-tugas kampus yang banyak. Namun kekhawatiran pun kita juga berganti. Apa yang akan dilakukan dikampung?Â
Link yang selama ini kita bangun ternyata ada di rantauan. Pekerjaan-pekerjaan yang dapat membantu sedikit finansial kita ternyata juga di rantau. Dengan apa bisa kita menggantinya di kampung. Tentu ini menjadi polemik didalam kepala dan batin kita. Perbedaan lingkungan ternyata dapat membuat kita juga menjadi pribadi yang berbeda. Namun tentu saja, modal kita adalah pengalaman yang berharga yang kita dapatkan di rantau. Untuk saat ini, membangun kembali kebiasaan-kebiasaan yang ada dikampus tenyata cukup sulit. Misalnya saja untuk dapat membaca buku, saat ini cukup sulit.Â
Bagaimanapun, kebiasaan rantau yang positif harus kita bawa pada kondisi saat ini. Perlu adanya kolaborasi kebiasaan. Kita dapat mengatur kembali jadwal harian kita ketika dirantau dan ketika di kampung. Melakukan list harian yang menjadi target dan cita-cita kita. Atau bahkan persiapkan diri dikampung untuk menuju langkah selanjutnya. Entah dirantau, entah di kampung, itu sama saja. Namun satu hal bahwa kita harus memiliki cita-cita yang tinggi sehingga tidak ada kata lelah atau berhenti dalam mencapai sesuatu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H