"Jangan sekali-kali melupakan sejarah"
(Soekarno, pidato 1945)
Memanglah haram melupakan sejarah! Sejarah adalah realitas yang tidak dapat kita hindari dan harus kita lalui dalam kehidupan. Selama kita hidup dalam ruang waktu, kita manusia tidak akan berhenti bersejarah, karena sejarah adalah hukum waktu. Sekalipun kita berdiam diri sepanjang hidup, sejarah tidak berhenti dan terus berlansung (diri terus berubah, usia terus bertambah, dan daya tahan terus melemah). Sebab kediaman kita adalah nisbi. Dalam kenyataannya, kita tinggal di bumi yang terus bergerak membawa bumi mengelilingi matahari. Matahari bergerak membawa bumi dan bintang-bintang lain mengelilingi pusat galaksi. Galaksi bergerak membawa matahari dan bintang-bintang lain mengelilingi pusat rumpun galaksi, dan seterusnya. "Sejarah, "demikian kata Croce, "bukan hanya sebagian realitas, melainkan seluruh realitas".
Melalui pola ini, kita dapat melihat lebih jelas bagaimana proses sejarah berlangsung terhadap segala sesuatu. Ia berlaku pada alam raya, galaksi, bintang dan planet. Ia berlaku pada manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Ia berlaku pada setiap diri : seorang manusia, seekor monyet, pohon kelapa, atau makhluk lainnya. Bahkan ia berlaku hingga zarah bagian atom, seperti proron-netron-electron, atau zarah dasar quark dan lepton. Waktu memproses segala sesuatu yang terkurung didalamnya, dari masa lalu ke masa depan,mengikuti perubahan bentuk yang menyesuaikan (conformaltransformation). Exampleir : Jika kita menanam biji cabe, maka sejarah bibit cabe akan tumbuh dan berkembang menjadi pohon cabe. Tidak mungkin bibit cabe akan bersejarah (tumbuh dan berkembang) menjadi pohon kacang, atau sebaliknya.
KERUGIAN
   Hukum sejarah adalah hukum keseimbangan (simetris) : Pertumbuhan dan perkembangan segala sesuatu sangat bergantung pada pilihan sikap masing-masing makhluk. Ia tidak memaksakan kewajiban itu mutlak harus ditaati, melainkan menuntut kesadaran diri setiap makhluk-Nya, karena setiap diri punya potensi untuk menentukan pilihan, tidak terkecuali manusia dengan potensi jiwa yang paling tinggi. Manusia diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk menetukan sikap dan langkah yang ditempuh, apakah ia ingin berkembang maju (menunaikan kewajiban-Nya), atau bahkan menyurut mundur (melalaikan kewajiban-Nya). Siapa saja yang menyadari potensi dirinya dan mau memanfaatkannya dengan maksimal, maka daya jiwanya akan meningkat tingi, sehingga peradabannya akan berkembang maju. Semakin sadar atas potensi dirinya dan semakin maksimal memanfaatkannya, maka daya jiwanya akan semakin tinggi, sehingga peradabannya pun akan semakin maju.Sebaliknya, siapa saja yang melupakan potensi dirinya dan menyia-nyiakannya, maka daya jiwanya akan akan menurun rendah, sehingga peradabannya akan menyurut mundur. Semakin melupakan dan menyia-nyiakannya, maka daya jiwanya akan semakin rendah, sehingga peradabannya pun akan semakin mundur.
Tingkat kesadaran-atas potensi jiwa menentukan tingkat peradaban. Kalau kita masyarakat dan bangsa Indonesia hidup terpuruk-menyurut mundur, itu bukan karana potensi jiwa kita rendah. Sesungguhnya potensi jiwa kita kita manusia adalah sama (bangsa amerika, inggris, Jepang, dan seterusnya), yakni "Fitrah". Fitrah jiwa adalah tinggi dan trasedental, tidak menerima hal-hal yang rendah dan kotor. Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya, ia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungannya. Akibatnya, jiwa khas ini seringkali terselubungi oleh tradisi, kepercayaan, atau kebudayaan masyarakat lingkungannya. Pula halnya kita bangsa indonesia, kalau bawaan lahir kita tidak tampil dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik, dan berekonomi, karena ia telah diselubungi oleh sistem dan kebudayaan yang diterapkan para pemimpin kita, yang tanpa disadari  telah membekukan kesadaran atas potensi yang kita miliki, sehingga kita tidak mengenali lagi diri kita sebenarnya. Para pemimpin kita lebih,  bahkan boleh dikatakan sangat akrab dengan kebudayaan luar, daripada kebudayaannya sendiri yang "Religius".
Hubungan yang akrab ini, sangat jelas terlihat dalam menggariskan strategi ekonomi, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, dan sebagainya. Kecenderungan dasar sikap mereka sama sekali tidak bebeda dari sahabat-sahabat mereka di barat, sikap terhadap apa yang disebut "materi" : Menghapus subsidi,meniadakan tarif, dan menggalakan investasi. Tanda-tanda untuk melepaskan diri dari pelukan asing nada-nadanya sulit dicari. Mereka terlanjur mengamini do'a Toynbee, " bahwa sinar kebudayaan yang terlepas bagaikan sebuah electron yang terlepas atau penyakit menular yang tersesat, dapat membawa kematian bila ia dipisahkan dari susunan tempat sebelumnya ia berfunsi".
Memanglah, perkembangan peradaban materil memancarkan gambaran yang lebih terhormat tentang kita manusia. Kita akan lebih terhormat, apabila tidak terinjak-injak oleh kemiskinan, memiliki pendidikan, dan menikmati waktu luang. Akan tetapi, pertanyaan paling penting bukan disitu, atau meminjam istilahnya Langdon Winner , " Ceramah-ceramah mudah mengenai kemajuan dan penggunaan efisiensi ekonomi selaku tolak ukur satu-satunya sudah tidak cukup lagi". Saat ini, perkembangan peradaban materil yang didasarkan atas prinsip keuntungan (profit principle) dan pasar bebas (free narket) telah membawa konsekwensi terhada kehidupan sistem atau mekanisme demokrasi yang kita bangun. Para kapitalis ternyata berusaha, secara tersembunyi, selangkah demi selangkah, telah memperlemah lembaga demokrasi, dan (kalau mungkin) mengubahnya menjadi lembaga politik yang tidak demokratis.. Para pemimpin kita, baik eksekutif maupun legeslatif, bahkan yudikatif pun mengalami kesulitan untuk menahan godaan dan rayuan para kapitalis untuk menegakkan demokrasi, supremasi hukum. Suap-menyuap menjadi kegiatan yang paling essensial. Indonesia kini tidak lebih daripada sebuah ladang perburuan kapitalis, yang siap menyergap asset kekayaan di dalamnya, temasuk asset nasional. " Pergi ke Timur! Kata Smith, " Jalan-jalan diaspali emas.
Kebingungan, ketegangan, tekanan, dan komplikasi (kemiskinan, penganggura, kelaparan, kerusuhan, dan sebagainya) akibat perubahan sosial-budaya yang kita derita saat ini, mengajak kita, terutama para pemimpin, untuk merenungkan kembali makna hidup, yakni untuk untuk apa sesesungguhnya kita hidup berbangsa dan bernegara?
KEUNTUNGAN
   Dalam satu Negara di mana kepribadian kita, baik individu maupun masyarakat sedang diancam perpecahan, agama dalam hal ini, dapat membantu untuk menyatukan kembali kepribadian kita, menemukan kembali suatu perilaku etik bagi individu, dan mebangun kembali suatau keserasian anatra individu dan masyarakat, Agama adalah suatu upaya untuk menemukan cara bagaimana menghadapi kenyataan tentang (mati) hidup yang berat ini.
Kita perlu bahkan sangat perlu mengarahkan kembali semangat kebangsaan ini, mungkin tidak sepenuhnya lepas dari ilmu dan teknologi, akan tetapi mengupayakan agar semangat ini memberikan prioritas  pertama kepada kitab suci agama, terutama pesan-pesan-Nya yang berkaitan dengan diri kita manusia sebagai pusat semesta (khalifatullah fil ardh), dengan tujuan memperbaiki diri kita dan hubungan kita satu sama lain menjadi lebih baik lagi.
Kita harus belajar membaca dan menafsirkan pesan-pesan agama tidak semata-mata sebagi sisa-sisa peninggalan masa lampau yang "bungkam", akan tetapi sebagai pesan-pesan yang dalam bahasanya sendiri "berbicara" kepada kita. Kita harus membuat isi simbol pesan-pesan itu hidup dan berbicara. Sebab agama bukan merupakan benda mati yang di ukir dengan ingatan masa lampau yang gemilang, akan tetapi merupakan realitas yang "hidup".
Menghidupkan kembali pesan-pesan agama tidak mesti memperlemah dan melumpuhkan daya-daya aktif kita, atau akan menghancurkan kehidupan kebudayaan kita. Sebaliknya, bila digunakan secara benar dan tepat, kesadaran beragama mampu memberI wawasan lebih luas terhadap masa kini, dan memperbesar tanggung jawab kita terhadap masa depan. Kita tidak dapat membangun masa depan tanpa menyadari kondidi-kondisi masa kini dan perbatasan-perbatasan masa lampau. Agama adalah suatu upaya untuk menyatukan seluruh bagian-bagian yang tercerai berai dan memadukan serta membentuknya ke dalam sosok yang baru, jasmani baru.
Jasmani kita bukanlah mesin, yang terdiri atas tulang, syaraf, dan cairan darah, melainkan jasmani sebagai dasar pemaknaan. Dan pemaknaan adalah pembukaan suatu alam : alam cahaya, alam seksual, alam cinta, atau alam agama. Alam cahaya dan warna bagi orang buta tidak ada maknanya, hanya pemilik mata-penglihatan yang bisa memasuki alam itu. Demikian pula halnya dengan alam agama, tidak ada maknanya bagi orang-orang yang tidak memiliki keyakinan atau kepercayaan, hanya pemilik keyakinan yang bisa memasuki alam itu. Supaya jasmani kita dapat menciptakan realitas-alam agama, maka jasmani kita harus menyesuaikan diri, memilih mukmin. Dalam salah satu tradisi profetik, digambarkan Aisyah, sedang terlibat percakapan serius dengan para sahabat  seputar eksistensi jasmani suaminya, Rasulullah saw. " Wahai Aisyah, Tanya sahabat, " Apakah jasmaninya Rasul. Aisyah pun menjawab dengan bobot simbolis, " Jasmaninya Rasul adalah al Qur'an".
Memanglah, menciptakan realitas-imani lewat jasmani bukan hal yang mudah, di perlukan kerja keras. Ia adalah suatu penderitaan yang mendalam. Ke-dalam-an ialah panggilan utama orang beriman, yang mencari bermacam-macam cara supaya panggilan itu dapat dipenuhi. Allegoris : " Iman dilahirkan seorang mukmin dalam suatu proses yang tidak kalah menderita dibandingkan dengan sakit seorang ibu yang melahirkan bayinya ". Ada konsepsi, masa kehamilan (gestasi) dan hal melahirkan (partus). Seorang mukmin harus selalu berusaha untuk menghilangkan jurang antara antara jasmani dan ruhani, hukum dan moral. Iman, atau kepercayaan bukan merupakan abstraksi, akan tetapi ia merupakan fenomena yang konkret. Iman harus dihayati dalam keseluruhan, seakan-akan di luar waktu, di luar kehidupan yang rill. Sehingga tidak mengherankan jika Tuhan mengawali logos-Nya dengan memanggil : " Hai orang-orang yang beriman ".
PENUTUP
   Sebagaimana terungkap dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai " Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa". Dengan pengakuan ini, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertanggung jawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang mengatasi semua, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan kepercayaan itu, kita, terutama para pemimpin seyogyanya harus menyesuaikan diri dengan sistem yang di wahyukan. Wahyu tidak menuliskan manusia dalam konsep metasifik, karena jiwa itu urusan Tuhan saja : " Jika mereka bertanya kepadamu tentang Ruh, Katakanlah : Ruh itu urusan Tuhan-Ku ". (Qur'an). Akan tetapi, wahyu menunjukkan kita perbuatan yang harus dilakukan terhadap Tuhan dan terhadap sesama kita manusia. Kewajiban pokok kita terhadap Tuhan ialah tunduk dan bertindak lurus. Kewajiban kita terhadap sesama kita adalah, keadilan dan kejujuran, sikap sungguh-sungguh amanah dan setia dalam perjanjian, sikap hormat dan cinta terhadap sesama kita, serta sikap hormat dan melindungi orang lemah. Menegakkan suatu masyarakat yang adil dan jujur adalah suatu ajaran pokok dalam ajaran agama, yang harus kita jalankan, terutama oleh para pemimpin kita.
Dengan semangat keagamaan atau keimanan itu, mari kita hidup-hidupkan Indonesia, dan jangan mencari hidup dengan menjual (asset) bangsa dan negara. Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, hiduplah bangsaku, hiduplah semuanya!
" Demi sejarah. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H