Keberadaan wadah bernama Masyarakat Sastra Jakarta, boleh dikatakan lumayan sangat fenomenal jika kita berkenan melihatnya dari jenjang waktu-sejarah. Bukankah kita mengenal akrab dengan istilah masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Bahkan dalam kitab samawi (Qur'an) persoalan waktu menjadi Tema sendiri, secara khusus bil khusus, sehingga Tuhan pun ber-Tutur dalam Surat Cinta--Nya itu : "Demi Waktu! "
Persoalan waktu juga telah menarik perhatian para filosof maupun ilmuwan dimasanya : Apakah waktu itu? Apakah ia merupakan suatu makhluk? Apakah waktu itu benar benar ada dan nyata? Suatu pertanyaan yang lumayan sederhana. Namun pertanyaan itu, hingga kini lumayan belum juga terjawab secara obyektif, lantaran persoalan waktu adalah terkait dengan subyektifitas individu masing masing manusia.Â
Dan bagi saya sebagai individu yang lumayan merdeka ialah, bahwa waktu itu ialah "peristiwa". Pertanyaan pun menyundul kepermukaan : Apa landasannya? Jawabannya lumayan sangat sederhana (bagi saya), mengacu pada temuan para ilmuwan : "Tak ada ruang hampa dan kosong didalam kehidupan kesemestaan". Artinya apa? Artinya ialah : Bahwa dalam kehidupan alam semesta telah, sedang, dan akan  berlangsung secara terus menerus pergeseran, pergerakan atau peristiwa di dalamnya. Yakni peristiwa dengan terjadinya perubahan pada struktur atom atom, atau lainnya, yang akan membawa konsekuensi pada kehidupan alam-bumi, terjadinya musim kemarau, musim semi, musim hujan, dan seterusnya, termasuk didalamnya memisahkan diri dari struktur kehidupan, seperti oksigen memisahkan diri dari hidrogen, sehingga bisa mencairkan atau kembali membekukan.Â
PENGARUH SASTRA
Jika kita mempelajari ilmu sosial, sosiologi dasar, maka kita kita akan menemukan pelbagai gagasan tentang sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-agama, dan seterusnya. Ketika kata sosial dikaitkan dengan agama, maka kita dapat mengetahui : Sejauh mana agama dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Demikian pula halnya dengan masyarakat sastra. Apakah sastra memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat? Apakah pengaruh itu, mampu mempengaruhi secara positif dalam kehidupan masyarakat? Ataukah sebaliknya, sastra hanya mampu memberikan pengaruh negatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?Â
Komunitas Masyarakat Sastra Jakarta adalah suatu koalisi yang lahir dari sejumlah komunitas kesenian yang berada di Jakarta. Artinya, Komunitas Masyarakat Sastra Jakarta adalah juga struktural dari sejumlah komunitas, yang didalamnya perwakilan-individu dari komunitas kesenian berada didalamnya. Dan hal tersebut (peristiwa sosial-kesenian) , telah terjadi dimasa 1990-an. Tentu saja kelahiran Masyarakat Sastra Jakarta, tidak lahir secara ujuk ujuk, tetapi terkait dengan peristiwa kelahiran yang mendahului sebelumnya, yakni gagasan atau suatu pemikiran manusia, individu individu sebagai warga masyarakat atau warga negara Indonesia didalamnya.Â
Keingintahuan kita pun segera terangsang keluar : Siapa  saja  orang orang yang memiliki gagasan atau pemikiran terkait dengan lahirnya Masyarakat Sastra Jakarta? Dan jika boleh disebut salah seorang di antaranya, yaitu Kori L. R, seorang sastrawan asal Kalimantan. Dan saya pribadi pernah diberikan secara khusus sebuah buku sastra karyanya, yang berjudul "RAWA".
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kehidupan kita  dimasa kini terkait dengan kehidupan masa lalu dan juga dengan masa depan. Demikian pula halnya dengan perjalanan sejarah kebudayaan bangsa di Indonesia adalah juga terkait dengan perjalan waktu didalamnya. Identik. Persoalannya ialah : Apakah kita kepengen mengelola waktu kehidupan itu menjadi suatu hal yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat? Ataukah kita akan terjebak dan membiarkan diri kita untuk menikmati kesalehan individual dibandingkan dengan kesalehan sosial?Â
Komunitas Masyarakat Sastra Jakarta, yang terdiri dari individu individu dengan latar belakang sosial, ekonomi, suku, agama, dan mungkin juga politik yang berbeda, telah sepakat untuk hidup secara bersama dalam masyarakat, maka sudah seyogyanya Komunitas itu, dapat bergerak  ke depan mengusung Tema Perubahan dalam Program Program Kerjanya. Dan tidak lagi bersifat 'status quo". Atau meminjam istilahnya, Cak Nur (Nurcholish Madjid), "Menerima apa adanya".
Dan Komunitas Masyarakat Sastra Jakarta, juga kalau bisa lebih berorientasi kepada skala kerja yang lebih luas. Dan tidak lagi bersifat lokal, melainkan bersifat nasional. Berani mengangkat isyu isyu nasional terkait dengan kebudayaan atau kesenian. Dan pada akhirnya, Komunitas Masyarakat Sastra Jakarta, dapat terlibat dalam memtuskan kebijakan kebijakan publik yang (lebih) taktis dan strategis dalam pemerintahan daerah khusunya, dan pemerintahan pusat pada umumnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H