Pertama kali menginjakkan kaki di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, adalah pada saat pameran instalasi demokrasi yang di selenggarakan oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Kemudian berlanjut ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, menghadiri kegiatan peluncuran dan diskusi buku sastra. Dan yang paling berkesan ialah saat menghadiri kegiatan Diskusi Meja Budaya, yang pada saat itu menghadirkan pembicara budayawan Remi Sylado.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, Diskusi Meja Budaya, menguap dari ruang sastra PDS HB Yassin. Dan mnyesuaikan dengan konteks zaman (perlahan dan pasti), Taman Ismail Marzuki, Cikini, Â Jakarta, yang sudah di revitalisasi pun melahirlan Diskusi Meja Panjang. Seperti halnya dengan Diskusi Meja Budaya, yang dilakukan secara berkala, setiap Jum'at. Diskusi Meja Panjang pun identik.Â
Ternyata, memasuki diskusi Meja Panjang itu, lumayan serupa dengan memasuki suatu ruang meja (laboratorium) operasi. Yakni, ketika para ilmuwan berusaha memahami makhluk bernama manusia dengan menyayat nyayatnya menjadi berlapis lapis, dan di mendefinisikannya : Bahwa manusia adalah binatangseksual ; manusia adalah binatang politik ; manusia adalah binatang ekonomi ; dan seterusnya.Â
Demikian pula halnya dengan di ruang Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Yassin. Di dalam ruangan Diskusi Meja Panjang, Sastra berusaha disayat sayat, hingga menjadi suatu batasan-pengertian : Sastra Religius ; Sastra Politik ; dan seterusnya. Dalam Diskusi Sastra Meja Panjang yang digelar 26 Juli 2024, panitia menggelar kegiatan ber tajuk 'Sastra Horor'.Â
SASTRA PENDAPATAN
Mendefinisikan sastra adalah suatu hal yang menarik. Namun juga bisa menyesatkan publik jika tidak dilakukan dengan mengkalkulasi aspek dampaknya bagi publik luas, yang berharap lahirnya pencerahan. Sastra dalam bahasa Indonesia adalah 'adab', dalam bahasa Arab, dan literatur dalam bahasa Inggris. Segala hal yang dilahirkan oleh pikiran dan perasaan (cinta dan rasa) manusia disebut 'adab'.Â
Dengan kata lain, sastra itu tidak hanya terbatas kepada karya karya kesusasteraan yang tertulis saja, melainkan juga, (seharusnya) ia berlaku dalam hal yang tak tertulis. Sehingga tidak mengherankan, jika sastra dalam bahasa Jerman disebut 'wortkunnst', 'seni kata' meliputi kata kata yang berbentuk tulisan maupun lisan.Â
Sastra itu sendiri terdiri dari dua struktur yang berbeda, yakni puisi dan prosa. Masing masing struktur memiliki (makna) hidupnya masing masing. Apakah hidupnya memiliki nilai atau tidak dalam ruang publik adalah tergantung daripada pemilik kehidupan itu sendiri (para penulis). Terpenting ialah sang penulis harus berani berbicara atau menyampaikan realitas kehidupan (pengalamannya) secara tulus, jujur, dan terbuka, baik dalam bentuk puisi maupun prosanya.Â
Sastra prosa dalam bentuk kisah adalah lumayan paling banyak diminati oleh publik luas, baik publik dari kalangan akademik maupun non akademik. Dalam salah satu kitab Samawi, seperti dalam Kitab Suci Al Qur'an, lumayan banyak kisah kisah yang disampaikan sebagai bentuk pendekatan psikologis dan spiritual (keimanan) bagi pembaca, atau penganutnya.Â
Dan dalam tradisi dan kebudayaan kita (Indonesia) lumayan sangat banyak diketemukan kisah kisah, seperti kisah Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang Putih, dan seterusnya. Sastra-prosa itu, disebut 'Asatir', atau cerita rakyat. Lalu bagaimana dengan sastra horor itu sendiri? Sastra horor adalah juga identik, asatir.Â