Tamsil zaman citra. Begitu judul sebuah buku yang pernah diberikan oleh seorang kawan, sekitar 15 tahun yang lalu. Meskipun sudah sekian lama usianya buku itu diterbitkan, Â namun masih tetap relevan dengan perkembangan zaman. Zaman dengan globalisasi dengan teknologi komunikasi dan informasi. Abad 21.
Sebagaimana diketahui, kita sedang memasuki abad 21. Suatu abad dengan lompatan kecepatan cahaya (gelombang elektromagnetik) yang begitu dasyat, dan membuat kita menggeleng gelengkan kepala, berdecak kagum. Fenomena itu, kita dapat saksikan pada siaran video call whatsapp, tik tok, youtube, dan lainnya. Sebelumnya, kita lumayan sulit untuk melakukan interaksi dengan dunia luar-diluar sekitar kita. Dengan hanya menyentuh fitur fitur dalam teknologi genggaman kita (smartphone), kita dapat secara live menonton even olahraga, musik dan berita secara life. Bahkan kita bisa memberikan apresiasi (suka atau tidak dan kolentar) didalamnya.Â
APK CALEG DAN CAPRESÂ
Ketika pandangan kita terperangkap dalam suasana citra atau gambar calon legeslatif dan calon presiden RI 2024-2029, dibawah langit Indonesia, maka kita pun tergelitik bertanya : Sudah berapa besar jumlah uang yang dikeluarkan? Apakah pencitraan melalui spanduk, bendera, kaos, kalender, dan sticker akan memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan rakyat? Â Seorang eks calon wakil presiden dan juga Menteri Ekonomi Kreatif dan Parawisata, Sandiaga Uno, menyinggung dan mengingatkan tentang analogi PIL, "Jika lupa bakal jadi. Dan jika jadi bakal lupa".
Logika politik prakmatis itu adalah hal yang umum diketahui, lantaran untuk melakukan pencitraan politik diruang publik melalui alat peraga kampanye (spanduk, bendera, dan seterusnya), mengeluarkan uang yang lumayan sangat tidak sedikit. Apalagi seorang Mahfud MD, menceritakan secara terbuka kepada publik, bahwa untuk menjadi calon wakil presiden dibutuhkan  dana minimal 1,5 trilyun, dengan rincian setiap saksi di TPS dianggarkan @500.000, diseluruh tanah air, Indonesia.Â
Fenomena fenomena itu menjelaskan secara sahih, valid, dan sangat sulit disanggah, bahwa pemilu-demokrasi ditanah air telah berubah menjadi industri. Hanya orang orang yang memili uang banyak (orang kaya), yang dapat melakukan investasi dan mengelola negara kedepannya, bukan rakyat Indonesia, mayoritas miskin. Sehingga tidak mengherankan jika demokrasi ditanah air telah berubah fatsoennya, berwawasan atau berorientasi kepada kekuatan oligarki.
Sebagaimana diapahami bersama, bahwa sisitem pemilu kita berbasiskan pada suara terbanyak. Dan pemilih terbanyak berada diwilayah Jawa Barat. Wilayah provinsi Jawa Barat adalah wilayah 'Premium' dalam peta demokrasi ditanah air, lantaran Jawa Barat, memiliki kekuatan pemilih sebanyak 40 juta lebih. Wilayah Jawa Barat memiliki dayak tarik tersendiri dibandingkan dengan wilayah wilayah lainnya di Indonesia. Namanya juga Premium, maka harganya pun ikut menyesuaikan. Harganya akan lebih jumbo.Â
Untuk membuka akses Premium diwilayah tersebut, diperlukan dana yang lumayan tidak sedikit (sangat besar) untuk masuk dan bertemu dengan warga masyarakat disekitar, memberikan APK, uang sosialisasi, dan uang saksi di TPS.Â
Apakah rakyat Indonesia dapat menikmati fasilitas kehidupan yang premium, jika para caleg, capres dan cawapres kelak menjadi anggota legeslatif, presiden dan wakil presiden RI? Â Ataukah akses Premium hanya boleh dimiliki dan dinikmati oleh segelintir orang saja, oligarki? Entahlah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H