Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Kebahagiaan Wanita dalam Semangkuk Bubur Kacang

26 September 2023   20:53 Diperbarui: 26 September 2023   21:19 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Pixabay/Iustrasi

Bermula dari kata segalanya menjelma. Kata kata bukanlah hanya letupan angin semata, kosong dan tanpa makna. Ia memiliki suatu kekuatan dan isi didalamnya. Kata kata leluhur memiliki kekuatan makna didalamnya, lantaran para leluhur atau orangtua kita berbicara berdasarkan pengalaman yang dimilikinya (peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya). Sehingga lumrah jika perkataan para leluhur itu dianggap keramat dan sakral. Ia emiliki dimensi kedalam, dan sekaligus menyembul keluar. Exampleir : Dimana bumi dipijak, hendaknya langit itu pun  dijunjung, lebih baik mati berputih tulang daripada hidup bercermin bangkai, dan seterusnya. 

Hidup rukun, bergotong royong, dan saling menolong adalah suatu pesan para orangtua kita yang berusaha diangkat dalam tema besar hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pesan simbolik itu, memiliki nilai atau arti hidup yang sesungguhnya dalam kehidupan kita bangsa Indonesia. Dan sudah seyogyanya, kita berusaha untuk kembali memghidupkan pesan pesan simbolik tersebut. Apalagi Indonesia yang kini telah, sedang dan akan terus mengarah pada kehidupan individualistis, prakmatis dan transaksional. 

KEBAHAGIAAN KUALITAS  

Memahami kebahagiaan itu tidaklah boleh dimaknai secara tunggal, melainkan plural, sehingga kebahagian itu dengan sendirinya dapat berdialektika dan menemukan kehidupannya pada diri manusia didunia, tak terkecuali manusia Indonesia. 

Memanglah, (fenomena) kehidupan ummat manusia didunia, tak terkecuali bangsa Indonesia telah mengarah dan akan membentuk pada pola kehidupan yang berwawasan material. Sehingga membawa konsekwensi terhadap makna kebahagiaan itu sendiri. Bahwa kebahagiaan manusia itu diukur dari struktur material yang dimilikinya. Bernilai kuantitas, dan bukan kualitas. Memiliki kekayaan, memiliki pendidikan, menikmati waktu senggang, dan seterusnya, adalah ukuran ukuran kebahagiaan yang dilekatkan dalam kehidupan manusia.  

Namun demikian, sejumlah fenomena menunjukkan bahwa kehidupan individu yang melimpah materinya, (terkadang) mengalami kesulitan untuk menemukan kebahagiaan didalam kehidupnya. Misalnya : Penyimpangan perilaku seksual, penggunaan narkoba, bunuh diri, dan seterusnya. Kesemuanya itu merupakan dampak dari kehidupan modern yang lebih cenderung dan berwawasan material. Mereka berusaha menemukan kebahagiaan diluar material, dengan cara menggunakan materi yang tersedia, menenggak minuman keras, menggunakan shabu-heroin, menenggak racun, hingga menggunakan seutas tali untuk menggantung dirinya. Bunuh diri. Membunuh sendiri kebahagiaan materinya. Dan pergi kealam non-materi, dan takkan pernah kembali lagi pada kehidupan materi dirinya. 

Terungkap, bahwa kebahgiaan itu sederhana. Tidak melulu bersifat materi, dan juga tidak bersifat immateri. Tetapi keduanya. Namun tidak ambigu. Untuk memahami pola tersebut, kita bisa merujuk pada pengalaman seorang Maulana Rumi. Beliau tidak pernah memisahkan antara materi dan immateri, ruhani dan jasmani. Keduanya inheren, terikat dan mengikat. Dengan kata lain, untuk dapat memahami dan menyaksikan kebahagiaan immateri (spiritual), kita bisa menggunakan pola pendekatan unsur material didalamnya. Bahwa kebahagian ruhani itu adalah juga kebahgiaan jasmani.

Untuk dapat lebih mudah memahami pemikiran Rumi tersebut, dapatlah digunakan pola pendekatan kegiatan transaksi disebuah kedai Bubur Kacang Hijau, yang berada badan pinggiran jalan raya. Tentu saja, cerita yang (akan) disampaikan tidak berusaha atau bermaksud mereduksi makna kebahagiaan itu sendiri. Hanya suatu pendekatan. Suatu hari, saya melipir dan mampir dikedai Bubur Kacang yang terpapar diruang publik. Dikedai itu, sudah ada beberapa orang yang memesan dan sedang menikmati bubur kacang. Tak sengaja salah seorang berpaling menyaksikan peristiwa lain yang terjadi diseberang jalan. Kedua fiksasi bola mata saya pun tiba tiba tertarik untuk mengikuti pandangan orang itu. 

Tampak terlihat dua orang wanita sedang terlibat pembicaraan serius. Baik saya maupun orang tersebut, tidak mengetahui apa yang tengah diperbincangkannya. Seorang perempuan lebih tua, menyuruh anak perempuan lebih muda darinya untuk segera pergi keseberang jalan, dengan memberikan sejumlah uang receh  dari saku bajunya. "Bang beli bubur kacangnya semangkuk aja, " demikian suara lirih yang keluar dari perempuan muda tersebut, dengan pakaian yang kusam dan rambutnya kotor dan berminyak. 

Suara perempuan itu, telah menarik perhatian orang orang yang berada diwarung bubur kacang, terutama salah seorang yang telah telah lama mengikuti dan mengamati peristiwa tersebut. Dia tersenyum menyaksikan perempuan  itu, lantaran  begitu lahap menyantap bubur kacang dimangkuknya. 

Setelah habis menyantap bubur kacangnya, laki laki itu pun segera membayar bubur kacang yang telah dimakannya, dan juga bubur kacang yang telah dimakan perempuan tersebut. Perempuan itu pun seketika terkejut dan mengucapkan banyak terumakasih (berulang kali). Terungkap kebahagiaan perempuan itu. Dan kembali menyeberang, dan mengembalikan sejumlah uang receh yang telah dikeluarkan dari saku perempuan lebih tua darinya. Dan diketahui, perempuan yang lebih tua darinya itu adalah ibunya. Ibu kandungnya. 

Menyaksikan hal tersebut, saya pun hanya bisa tersenyum dan seraya memuji-Nya didalam hati. Semangkuk bubur kacang seharga tujuh ribu rupiah itu, ternyata telah mampu melahirkan kebahagiaan pada diri seorang perempuan  Kata orangtua, ketika seseorang mampu memberikan kebahagiaan pada diri seseorang (tidak mampu-miskin materi), maka orang yang miskin yang merasa bahagia itu, sesungguhnya sedang memunajatkan doanya kepada Tuhan semesta alam untuk orang yang telah membahagiakan dirinya. 

Kita (mungkin) tidak sadar bahwa kuantitas itu mampu melahirkan kualitas dalam kehidupan kita manusia, kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Memanglah, membangun kesadaran dalam diri kita adalah tidak mudah. Membangun kesadaran atas potensi potensi yang kita miliki didalam diri, dan mengelolanya secara optimal, sehingga muncul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, diperlukan kemauan dan kerja keras nyata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun