Jakarta. Bukanlah Jakarta jika tidak mampu melahirkan gravitasi (daya tarik) publik nasional maupun internasional. Jakarta, yang memiliki luas daratan 661,52 km2, dan lautan 69775 km2, dan tercatat kurang lebih 110 pulau yang tersebar di kepulauan seribu itu, menjadi suatu daya tarik  tersendiri bagi publik Jakarta, luar Jakarta dan mancanegara. Apalagi infrastruktur jalan dan kendaraan publiknya yang nyaman dan aman. Jakarta, diakui dunia sudah berkurang untuk tingkat polusi kendaraan-udaranya. Langit-langit di Jakarta pun sudah tampak terlihat indah menyolok mata.
Suka atau tidak, jika berbicara Jakarta, maka ia juga harus berbicara tentang pemimpinnya. Gubernurnya. Karena kemajuan dan kemunduran Jakarta adalah identik dengan  kemampuan seorang gubernurnya. Dan dibawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan, Provinsi DKI Jakarta,  berhasil meraih penghargaan ke-5 Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Suatu achievment yang luar biasa. Dan  Anies Baswedan, mengungkapkan, "bahwa penghargaan tersebut diperoleh atas kerja kolektif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta".
BACAAN POLITIK
Sebagaimana dipahami bersama, bahwa Jabatan Gubernur itu tidak hanya (melekat) sebagai jabatan publik, melainkan juga  jabatan politik, sehingga tidak mengherankan jika pola pemerintahan yang dibangun Gubernur Anies Baswedan, dipersepsikan sebagai bacaan politik ditanah air. Sebahagian ada yang membacakannya dengan jujur dan terbuka. Dan sebahagian lainnya, membacanya dengan penuh sakwasangka (citra negatif).Â
Dialektika politik dan kekuasaan ditanah air kian menajam dan menganga lebar pasca reformasi. Ruang demokrasi kian dipersempit dan diperlemah oleh kekuatan politik yang berkuasa dan kelompoknya. Bahkan rezim-berkuasa terkadang  dan (mungkin) terpaksa menelan mangsanya (antitesa politik kekuasaan) secara ganas, dengan merobek robek dan menyeretnya keluar, serta melemparkannya kejurang yang sangat dalam dibawah kekuasan, sehingga lumrah jika ada persepsi bahwa politik dan kekuasaan di republik ini mencerminkan sabdanya seorang Maechevali.
Seorang Maechevali bukan tidak mengenal moralitas, baik dan buruk dimata rakyat. Tetapi, menurut Maechevali, menjadi penjahat adalah lebih baik agar politik dan kekuasaan penguasa dapat bertahan dan berjalan langgeng, serta rakyat menjadi takut. Dan seorang Lord Acton pun memberikan gambaran yang terang benderang tentang bahayanya politik dan kekuasaan  itu, "kekuasaan cenderung  korup".Â
Mengapa bisa sampai menjadi korup jika berkuasa. Karena kehadiran seseorang menjadi (penguasa) presiden tidaklah berdiri dengan sendirinya, melainkan ada sejumlah orang atau pihak yang membantu mengantarkannya menjadi presiden. Dan orang orang tersebut, adalah orang orang yang telah membiayai  kampanye politiknya. Mereka adalah orang-orang yang sangat banyak cuan. Dan mereka itu  disebut kaum oligarki.
Sebagaimana sudah dipahami, bahwa pergerakan  kaum oligarki akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan usahanya dan mendulang kekayaannya, jika tidak bersentuhan dengan ruang politik dan  kekuasaan. Makanya, mereka rela mengeluarkan uangnya untuk berjudi di perhelatan demokrasi. Jika mereka berhasil memenangkan pertarungan pada pesta demokrasi, maka keuntungan dan kekayaannya pun akan kembali dan menjadi berlipat lipat. Dan sebaliknya, jika kalah, maka konsekwensinya usaha dan keuntungannya pun akan terancam bangkrut dan hilang.
Lalu apa hubungannya dengan Gubernur Anies Baswedan? Hubungannya ialah dalam konteks politik. Politik Pilkada DKI Jakarta telah meluas eksesnya kepada politik nasional. Sebagaimana diketahui, politik Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, telah memberikan efek psikologis kepada para penjudi demokrasi yang kalah. Dan akibat kekalahan itu, sejumlah rencana perluasan usahanya di Jakarta, mengalami kegagalan. Sebut saja Mega Proyek Reklamasi di Jakarta. Dengan kata lain, kemenangan Anies Baswedan, sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, telah melahirkan luka yang menganga dan mendalam bagi kaum antitesis politiknya.