Setiap waktu yang kita lalui adalah kisah, cerita, dan atau peristiwa. Tak ada ruang dan waktu yang hampa, kosong dan tanpa makna. Kisah atau peristiwa senantiasa hadir dan mengisi dalam ruang ruang kehidupan kita manusia, tanpa terkecuali.Â
Dan kita manusia dihimbau oleh Nya agar dapat mengelola setiap peristiwa yang lahir dalam kehidupan  itu menjadi suatu ibadah atau amal kebaikan. Hal ini, tercermin jelas dalam Surat Cinta-Nya,  Demi Waktu, Wal Ashr : "Demi waktu!  Sesungguhnya manusia itu benar benar dalam kerugian, terkecuali orang orang yang beriman, beramal sholeh, dan saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran". (Quran).Â
Bagaimana kita mampu mengelola ruang dan waktu agar menjadi suatu kekuatan yang mampu melahirkan kebaikan? Bukan perkerjaan mudah menjawabnya. Apalagi jika berusaha menyederhanakan dalam memberikan jawabannya.Â
Dan mengingat diyakini adalah suatu upaya yang mampu memberikan suatu jawaban atas persoalan tersebut. Mengingat adalah suatu aktifitas yang sangat penting yang dapat kita lakukan untuk dapat kembali membangun struktur kehidupan kita manusia menjadi lebih baik di alam semesta ini.Â
Karena manusia, Â menurut para antropolog, memiliki Engram dikepalanya. Yakni suatu alat kemampuan yang mampu membaca dan mengingat segala peristiwa yang melimpah dalam menuntun kehidupannya. Sehingga tidak mengherankan jika Tuhan ber-Tutur dalam Surat Cinta-Nya : "Sebaik baik mengingat ialah mengingat-Ku (mengingat Allah).Â
Peristiwa yang telah berlalu bertahun tahun lamanya, mampu kita temukan kembali struktur kehidupannya dengan jelas dalam suatu media musik, film, ruang rekreasi, bangunan, dan seterusnya. Sebagai contoh : "Jika kita pergi ke suatu pantai, kita akan teringat dengan seseorang yang kita sayangi, meskipun kekasih yang kita sayangi telah pergi selamanya, meninggal.Â
Dengan kata lain, banyak cara untuk memasuki lorong lorong waktu kehidupan masa lalu dan mengingatnya kembali untuk dapat memberikan suatu hiburan ataupun pencerahan dalam kehidupan kita manusia modern yang serba materialis, hedonis, permisis, Â dan seterusnya, jika saja kita mau berusaha melakukannya.
Demikian pula dengan diri saya saat pergi menggunakan angkutan publik, Busway Transjakarta. Sepanjang perjalanan itu, saya menyaksikan kuantitas aktifitas manusia modern dan struktur bangunan gedung gedung perkantoran, perhotelan, restoran, dan seterusnya.Â
Saya merasakan asing sepanjang perjalanan. Namun seketika (tersergap ruang), saya mengalami suatu hal yang intim dan tidak asing sejauh dan sedalam kedua fiksasi bola mata memandangnya. Yakni sebuah bangunan Toko Buku yang masih kokoh berdiri dipinggir badan jalan raya.Â