Bermula dari (suara) rakyat, dan berkerja untuk para pemodal, cukong, oligarki, dan elit partai. Rakyat tak lebih dianggap sebagai mesin jackpot kekuasaan dan kekayaan bagi mereka. Rakyat berani bersuara keras mempersoalkan dan menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa, maka akan dihadapkan kepada aparat kekuasaan, seperti polisi dan tentara militer, yang siap mengejar ngejar, memukul dan menyeretnya kedalam ruang sel tahanan. Mereka yang bersuara keras dianggap pembangkang negara dan mesti dihukum, walaupun tanpa proses pengadilan dan peradilan hukum.
Dan kini, Ibu Pertiwi sedang menagis meratapi penderitaan rakyat yang belum juga mereda. Bahkan kian menderita. Rakyat dideritakan secara politik, sosial, ekonomi, hukum, dan seterusnya. Keadilan dikorup menjadi milik penguasa, pemilik modal, cukong cukong, dan elit partai. Rakyat harus menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari aparat kekuasaan, lantaran lahan pertanian dan tempat tinggalnya diambil alih untuk kepentingan usaha para pemodal, cukong, oligarki dan elit partai politik. Sirkulasi kekayaan alam dan negara pun hanya berputar diwilayah situ situ saja. Dan tidak mengekses keluar kepada rakyat dan negara.
Reformasi agraria hanya sebatas retorika politik. Dan kalaupun telah ada undang undangnya, namun dikunci dan tidak boleh keluar mengganggu kemesraan penguasa dengan para pemodal, cukong, oligarki dan elit partai.Â
Haruskah kita tetap menanti. Dan tidak ada upaya upaya yang dilakukan untuk menyusun kekuatan sosial dan politik secara konstitusional membela kepentingan rakyat dan negara. Dalam konteks penantian politik itu, tidak berbicara tentang seorang personal, melainkan berbicara pada penguasa dan kekuasaan, yang semakin larut semakin jauh dari kekuasaannya. Sehingga tidak mengherankan, jika Gus Dur, mengungkapkan, "Penguasa yang  lupa akan kekuasaannya". Jika penguasa telah lupa dengan kekuasaannya, maka kekuasaannya akan mudah  diambil oleh orang dan dikendalikan oleh orang lain, bukan oleh dirinya, sebagai penguasa.
Apakah kita akan menanti datangnya penindasan? Ataukah sebaliknya, menanti datangnya pengangkatan derajat kemanusiaan? Kesemuanya itu, kembali kepada sikap kita masing masing. Kita diberikan kemerdekan dalam memilih dan memutuskannya.
INDONESIA Bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H