Mohon tunggu...
Aswar M. Djulaifah
Aswar M. Djulaifah Mohon Tunggu... -

Belajar menulis dan memulung kata. Pengajar di Bintang Pelajar Kota Wisata Cibubur Cileungsi. Mari berbagi kata Hp 085341131191

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Alhamdulillah, Akhirnya Ayah Bercerai

23 Januari 2014   14:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin saya adalah anak yang paling bangga dan bahagia memiliki Ayah yang berani bercerai demi kehidupan yang ia cintai; demi keluarga, demi kami anak-anaknya. Bercerai, itu berarti memutus satu tali, dan mungkin akan menyambung tali yang lain. Saya harap, ini adalah perceraian terakhir dan tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dilakukan di masa-masa yang akan datang dalam keluarga. Ya, semoga.

Broken home? Oh, tidak, bukan itu masalahnya. Ini bukan tentang pertengkaran dalam keluarga saya sebab keluar kami tidak punya masalah dengan kebahagiaan. Keluarga kami adalah keluargapaling bahagia dalam menjalani kehidupan, tanpa beban dan tanpa tekanan. Kami hidup dari hasil kerja tangan kami sendiri. Kami tidak meminta apalagi mengemis kepada penguasa. Orang tua saya juga tidak memaksa kami menjadi pengamen atau pemulung, walau kehidupan ekonomi tidak tergolong sejahtera.

Mengapa saya mensyukuri perceraian Ayah? Sebabnya mungkin sepele. Bahkan kadang dianggap main-main oleh banyak orang. Ya, banyak orang dari remaja, dewasa, hingga orang tua mungkin melihatnya sebagai sesuatu yang membahayakan kehidupan. Namun, justru perceraian itulah yang menggairahkan kehidupan rumah tangga keluarga saya.

Ceritanya bermula ketika saya masih lajang alias belum menikah. Bermula saat saya masih tinggal bersama orang tua di tanah Sulawesi, Makassar. Suatu malam, kakak perempuan saya akan pindah domisili mengikuti suaminya ke Manado. Mereka membawa serta anak-anaknya yang masih lugu yang selama ini tinggal bersama kami, satu atap. Tentu saja kebahagiaan Ayah dan Ibu sebagai orang yang berstatus kakek nenek berangsur menurun. Terasa direnggut cinta itu. Namun, memang hal demikian termasuk wajar. Sebab seorang yang telah bersuami sepatutnya tinggal di atap yang lain bersama keluarga barunya.

Saya, ibu, dan keluarga yang lain turut serta mengantar kepergian kakak dan keluarga kecilnya itu menuju bandara. Saat tiba di bandara, tiba-tiba kabar kurang enak datang dari keluarga yang tidak ikut. Kabar tentang Ayah yang tiba-tiba sakit. Sakit karena satu penyakit yang telah lama menggerogoti tubuhnya. Tubuh lelaki yang tidak lagi kekar. Kami pun bersegera pulang setelah melepas kepergian kakak penuh haru.

Tiba di rumah, Ayah yang sudah terbaring lemah di atas kasur yang sederhana. Sederhana tanpa ranjang apalagi spring bed, beralaskan kasur yang mulai menipis dimakan zaman. Kehidupan kami memang sederhana, bahkan terbilang kurang dari aspek materi. Namun, kesederhanaan itu tidak mengurangi baiknya akhlak dan budi kedua orang tua kami. Shalat rutin ditunaikan. Zakat setiap tahun dikeluarkan. Bantuan senantiasa diulurkan kepada tentangga-tetangga yang membutuhkan. Hari-hari penuh lukisan kebahagiaan.

Nafas Ayah semakin sesak. Matanya sayu, tatapannya dalam. Air mata saya tak mau tumpah karena menahan pilu. Tidak tega melihat seorang lelaki yang tidak muda lagi itu melawan rasa sakit. Ibu diam dan tidak tampak air matanya tumbang. Ibu memang perempuan tangguh dan tidak cengeng. Mungkin karena Ibu telah terbiasa dengan keadaan yang sering menghinggapi rumah tangga mereka berdua. Sesekali tersengal, Ayah menarik napas begitu berat. Sesekali keluhan mengalir dari desahan napasnya.

Anggukrangiki, Pak” Ingat Allah, Pak. Orang Bugis atau Makassar memaknai kalimat ini sebagai ajakan untuk mengingat Allah ketika seseorang menghadapi situasi yang sangat genting. Saya rasa Ayah memahami maksud kalimat itu. Maka, sesekali itu pun Ayah melantunkan dzikirnya tanpa diminta. Makan dan minum tidak dapat melewati kerongkongannya, situasi semakin mengharukan. Takut kehilangan Ayah, saya mengajaknya berobat ke rumah sakit namun ditolaknya.

Dalam tradisi keluarga kami, seseorang tidak akan berobat ke rumah sakit bilamana keadaannya belum sampai pada tahap kritis. Ini adalah efek kemiskinan sebab kartu jaminan sosial tidak pernah memberikan solusi. Ayah meyakinkan kami, dan benar saja, kondisi Ayah membaik beberapa menit kemudian. Lega, tentu saja. Anak mana yang tidak bahagia melihat orang tuanya sehat dan bisa tersenyum bersama mereka.

Sebagai anak, saya meyakinkan Ayah untuk bisa berobat ke rumah sakit. Biaya saya tanggung dari hasil keringat tangan saya sebagai pegawai pemerintah kala itu. Maka berangkatlah kami berdua mengendarai motor seorang kakak laki-laki yang sering saya pinjam. Saat tiba di rumah sakit, setelah registrasi, saya minta agar Ayah general check up. Alhamdulillah, semua proses pemeriksaan berjalan dengan lancar hasilnya pun negatif. Sehat. Hasil pemeriksaan dokter itu terbilang aneh sebab Ayah sudah berkali-kali merasakan sakit, mulai sesak napas berkepanjangan, kepala yang sering sakit dan gatal, kaki kesemutan, dan lainnya.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, sebenarnya tulisan ini maksdunya apa? Apa kaitannya dengan kisah Ayah saya yang sakit? Nah itu dia poinnya. Untuk menuntaskan tulisan ini, saya ingin memadukannya dengan jawaban dari pertanyaan, mengapa Ayah bercerai dan membuat saya bahagia.

Begini. Ketika berkonsultasi dengan sang dokter di rumah sakit itu, maka sampailah sang dokter dengan satu kesimpulan bahwa penyakit yang diderita Ayah disebabkan oleh asap yang sering keluar masuk paru-parunya. Ya, asap alias rokok. Ayah saya perokok berat. Bahkan setiap kali keluarga jauh datang ke rumah, selalu saja ada oleh-oleh rokok satu atau beberapa bungkus. Saking suka merokok, kadang diselingi dengan tembakau asli yang dibeli di pasar tradisional. Hasilnya, ya sakit yang sering kambuh kumat itu deh.

“Bapak merokok?” Tanya dokter yang terlihat alim itu. Ayah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan retoris itu. Maka satu-satunya jalan agar Ayah tidak sakit lagi adalah berhenti merokok alias Ayah harus menceraikan rokok yang sudah jadi istri keduanya selama ini. Bertahun-tahun hidup bersama rokok, Ayah tidak punya pilihan kecuali men-talak rokoknya dengan talak tiga. Alhamdulillah, perceraian Ayah dengan rokok membuahkan hasil. Ayah pun kembali sehat dan bugar.

Bagaimana dengan Anda yang masih memiliki banyak alibi sehingga sangat sulit untuk berhenti merokok. Bagaimana mungkin kehidupan Anda elegan dipenuhi asap yang tidak jelas itu? Seseorang pernah berkelakar bahwa orang yang boros itu sebenarnya adalah para perokok. Mengapa? Sebab para perokok itu, selain menghabiskan uangnya untuk hal yang merugikan kesehatannya juga boros karena membuang asap yang ia hisap dari rokok. Asap dihisap seharusnya ditelan jangan dibuang. Itu sesuatu yang bodoh. Ibaratnya orang makan ya jangan dimuntahkan kalau enak.

Bangsa ini memang aneh. Pengguna rokok terbilang jutaan, dari anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah hingga bos-bos pemegang kekuasaan di perusahaan kelas dunia. Anehnya lagi, di negara asalnya, Amerika, iklan rokok diminimalisasi sebab dampaknya sudah nyata menelan banyak korban. Di Indonesia, justru sebaliknya. Iklan rokok bertebaran di penjuru negeri, dari perkotaan hingga pelosok desa. Bahkan bebas diiklankan di berbagai media. Apa kata dunia?

Ceraikan rokok, Anda hidup sehat dan bahagia. Trust me, it’s work.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun