Sepanjang hidupnya, Russell mendekati agama sebagai seorang filosof, sejarawan, kritikus sosial, dan individu. Russell mengemukakan penentangannya terhadap agama dalam debat publik dengan para tokoh agama terkemuka dan merasa senang membuat sindiran-sindiran anti-agama, seperti jawabannya, ketika ia dibawa ke hadapan Tahta Langit (Tuhan), ia akan menegur Penciptanya karena tidak menyediakan cukup bukti akan eksistensi-Nya.
Russell adalah seorang yang agnostik saat menuangkan pemikirannya ke dalam setiap tulisan hariannya. Agnostik adalah orang yang berpikir bahwa mungkin mengetahui kebenaran dalam masalah-masalah seperti Tuhan dan kehidupan akhirat, masalah yang menjadi perhatian setiap agama. Apakah agnostik itu ateis? Tidak. Agnostik berbeda dengan ateis, dan berbeda pula dengan orang yang beragama. Ateis dapat mengetahui bahwa Tuhan itu tidak ada. Agama dapat mengetahui bahwa Tuhan itu ada. Sedangkan agnostik adalah menunda keputusan. Mengatakan bahwa tidak ada dasar yang mencukupi untuk menerima atau menolak.
Agnostik tidak menerima "otoritas" seperti hukum Tuhan dimana orang beragama menerimanya. Tentu saja ia akan berusaha mengambil pelajaran dari kebijaksanaan orang lain, tetapi ia akan memilih untuk dirinya sebagai orang-orang yang ia anggap bijak. Konsep kebaikan dan kejahatan tidak didasarkan pada perintah Tuhan, Nabi, atau motivasi hari akhir. Tidak juga pada hati nurani. Melainkan pada empati. Konsep empati ia terapkan untuk mendorong orang-orang yang putus asa tidak dengan dalil-dalil, melainkan dengan sebuah logika sederhana: "Saya akan mendorong orang yang putus asa dengan menunjukkan sesuatu yang bisa ia capai.
Pada diri kita terdapat sesuatu yang bisa dilakukan, dan kita akan menjadi lebih baik dengan melakukannya. Tidak perlu melibatkan agama. Selalu ada banyak hal yang perlu Anda kerjakan. Misalkan ia berupa kebaikan Anda sendiri. Anda makan pagi tetapi Anda tidak peduli pada agama. Jika Anda peduli pada orang lain Anda akan membutuhkan sangat sedikit agama untuk menyediakan mereka makan pagi. Selalu ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk orang lain, dan saya memasukkan Anda di dalamnya.
Anda tidak memerlukan agama untuk mengetahui hal ini, Anda hanya membutuhkan tindakan rasional atas apa yang mungkin" Apakah agnostik berpikir bahwa sains dan agama tidak mungkin berdamai? Jawabannya tergantung pada apa yang dimaksud dengan agama. Jika agama berarti semata-mata sistem etika, ia bisa didamaikan dengan sains. Jika agama berarti sistem dogma, dianggap sebagai benar dan tidak bisa dipertanyakan, ia tidak kompatibel dengan semangat sains, yang tidak menerima fakta tanpa bukti, dan juga berpegang bahwa kepastian seratus persen hampir tidak pernah bisa dicapai.
Apakah ilmuwan besar seperti Newton dan Einstein bukan "nabi"? Bukankah Tuhan tidak hanya rasa/hati namun juga nalar/pikiran? Mengapa agamawan mengesampingkan "nabi pikiran" dalam pengajaran agama mereka? Russell sangat terkesan oleh Tiongkok dan sikap santai rakyat Tiongkok pada agama. Misalnya, ia terkesan oleh kenyataan bahwa Konfusianisme yang dominan lebih menaruh perhatian pada etika daripada dogma.
Sikap yang toleran ini sangat berbeda dengan agama pada umumnya yang menekankan dogma dan keyakinan yang benar (cenderung diktator, main menang sendiri). Pada saat ini, dinegara maju, banyak orang memilih sikap bertuhan tanpa beragama, mereka yang di Barat dan USA tetap mempunyai landasan nilai moral Kristiani, namun tidak ingin terpenjara oleh agama, mereka ke gereja sebagai salah satu aktualisasi moral Kristianinya, mereka paham benar bahwa Yesus tidak pernah menciptakan penjara bagi umatnya yang disebut agama, dan Yesus selalu mengajak debat dengan para muridnya dalam pengajaran spiritual Kristiani, bukan secara brain washing!
F Penutup
Tiba saatnya untuk menutup tulisan ini dengan sedikit pesan: jangan jadi katak dalam tempurung, teruslah belajar apapun bentuknya (spiritual, ilmu, agama, keyakinan lokal, agnostik, bahkan ateis), bila beragama : janganlah memenjarakan Tuhan YME, & jangan memisahkan prinsip Adil dan Penyayang; selalu ingat dasar filosofi ini: Tuhan tidak pernah selesai dipelajari, kita baru mengetahui sedikit saja dari Maha BesarNya, jadi jangan sombong.
Harapan terakhir penulis, mohon artikel ini dapat disebar luaskan untuk diperdebatkan di dalam kelas, ceramah spiritual, maupun forum diskusi demi keterbukaan pemikiran bangsa, dan ingat debat selalu berakibat meningkatkan IQ, namun janganlah debat disertai clash fisik/kekerasan! Dogma saja akan memenjarakan IQ! Sekian dan selamat berkomentar dengan otak waras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H