Mohon tunggu...
Asty Intan Pratiwi Widyanti
Asty Intan Pratiwi Widyanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

be humble :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ama, in My heart

15 Januari 2012   13:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:51 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal perkuliahan…
Masih terasa bagaimana diri ini terlalu kaku dengan semua teman-teman baru, dan semua kebiasaan baru. Tentunya aku harus siap, karena ini awal menuju kedewasaan. Rasanya memang malas memulai semuanya karena berbagai masalah dalam hidupku. Tapi ini harus tetap kujalani dengan ikhlas dan tegar. Dan terbukti, aku sangat tegar. Bahkan lebih tegar dari sebelumnya.

Sosok itu, lelaki yang biasa kusebut sebagai ‘biang kerok’, seseorang yang takut dengan makhluk imut dan lucu yang bernama kucing, seseorang yang lahir tepat 12 hari setelah ulang tahunku, seseorang yang setiap hari menyebabkan darahku naik setinggi-tingginya ke permukaan dan berubah menjadi kemarahan, tapi seseorang yang juga telah merebut perhatianku diawal perkuliahan itu.

Dia bernama Ama...
Amat sangat jelas teringat bagaimana dia memperlakukan aku dengan sangat aneh. Hari ini dia begitu menyebalkan. Malam harinya Ia berubah drastis menjadi sosok malaikat yang kadang menemani aku disaat aku butuh teman.

Menyebalkan memang…
Aku bergumam dalam hati. Dia sosok yang amat sangat tidak ramah, sombong, jutek, kasar, dan semua yang membuat aku membencinya sesaat. Yaaa, cuma sesaat. Karena setelah itu, dia dengan amat sangat sukses membuatku jatuh cinta! LOL! Benci dengan cinta itu ‘kan beda tipis. Harusnya aku sadar sejak awal, tidak terlalu baik membenci orang seperti yang kurasakan. Dan ternyata, aku ‘kena batunya’. Dia kini begitu menarik karena keramahannya, kasih sayangnya, perhatiannya, amat berbeda dengan Ama yang dulu. Tentunya aku sangat menyukai perubahan ini.

Hari berlalu begitu cepat kurasakan. Mungkin karena bahagia yang kurasakan tak ternilai besarnya. Seperti berhutang nyawa kepada seseorang yang sangat berjasa mengembalikan kehidupanku, dari kesedihan menjadi kebahagiaan yang tak terhingga. Oh Tuhan, betapa berartinya dia dihidupku. Dia yang selalu sabar demi seorang anak kecil yang terjebak ditubuh orang dewasa, tentunya aku yang dimaksud. Dia tetap menjadi seseorang yang menyebalkan karena tidak pernah menepati janjinya. Aku yang tempramental, rasanya tidak baik untuk seseorang yang tingkat kesabarannya mungkin tak terbatas. Sungguh aku merasa tak tega, setiap kali aku marah, dia dengan segala upaya membuatku tersenyum kembali, apapun caranya. Terlihat jelas ketulusannya mencintai dan menyayangiku sepenuh hati. Dan begitu pula aku mencintainya, bahkan bersedia jika dia ingin melamarku kapanpun dia mau. Astaga, begitu yakinkah aku dengannya? Dan keyataannya aku begitu yakin memilihnya sebagai ‘calon suami’ku sebagaimana dia memilihku sebagai ‘calon istri’nya.

Kehidupannya begitu menarik untuk dibahas. Dengan segala keahliannya menggambar, memasak, mengajakku jalan-jalan, bahkan untuk memikat hati wanita. Aku mengakuinya, dengan segalanya yang dia bisa, tidak butuh tampang ganteng, dia mampu memikat hati wanita manapun yang mengenalnya dalam-dalam, entah bagaimana caranya dan apa yang menarik dilihat oleh para wanita tersebut. Atau mungkin aku yang terlalu berlebihan mendeskripsikan orang tercinta dihidupku. Terlalu banyak perasaan yang aku rasakan ke orang ‘jelek’ itu. Mungkin aku memang yang berlebihan menganggapnya terlalu istimewa. Tapi, seperti itulah aku mencintainya. Segala yang dia punya, akupun merasa memilikinya juga. Begitupun sebaliknya. Untuk kesekian kalinya aku mengatakannya, aku sangat menyayangi Ama, bebep yang aku punya satu-satunya di dunia ini.

Akhir-akhir ini, semakin jauh hubungan kita melangkah, semakin aku merasa takut untuk kehilangan dia. Sungguh aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya aku tanpa dia. Aku selalu ingin dipeluknya, tak mau jauh darinya, bahkan sampai berubah menjadi egois. Sangat egois! Aku bahkan selalu hampir setiap hari merengek jangan pulang cepat dari rumahku, tanpa aku sadari bahwa keluarga tercintanya menunggu dirumah, mungkin dengan perasaan rindu karena jarang berkumpul lagi. Oke, kalian semua bisa bilang aku amat sangat egois. Tapi sulit bagiku menghindarinya. Yang terpenting dalam hidup aku saat ini cuma dia. Dan hanya dia sampai kapanpun. Tolong jangan pisahkan kami berdua selamanya, Ya Tuhan…

----------------------------------------------------

“Gue boleh bilang sesuatu ngga, lek?”
“Apa?”
“Ngga jadi deh, kapan-kapan aja.”
“Yaelah sekarang aja ngga usah malu-malu. Kenapa?”
“Gue punya perasaan lebih ke lo, lek. Gue sayang sama lo.”

--Dan tanggepan gue cuma nyengir-nyengir karena merasa aneh--

“Gue serius. Ini bukan cuma sekedar kagum, tapi perasaan sayang yang lebih ke lo. Gue yakin banget.”
“Okeee… gue juga ngaku deeh kalo gue juga ngerasain apa yang lo rasain. Gue ngerasa nyaman setiap lagi deket sama lo. Mungkin bisa dibilang ini awalnya tanda sayang.”
“Lo serius? Yakin?”
“Kalo ngga ngapain gue ngomong kaya gitu? Lo aja bisa yakin, kenapa gue engga?”
“Tapi gue ngga mau jadian sekarang!”
“Laah kok gitu?”
“Gue mau lo berubah jadi orang yang dewasa dulu. Baru kita jadian.”

--Yeuuhh… Mana bisa gue??--

16 OKTOBER 2010
“Kamu mau ngga jadi pacarnya aku sekarang?”
“Aku mau. Hehehe”
“Bener udah yakin?”
“Iyaaa…”
“Makasih yaa sayang…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun